Kamis, 15 November 2007



MAHASISWA DALAM KONSTALASI APLIKASI SYARIAT ISLAM

“Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka”
(Q.S.Al-Kahfi : 13)


Signifikansi Peran Mahasiswa Dalam Penegakan Syariat Islam
Mahasiswa, pemuda atau generasi muda bagi masyarakat Aceh adalah harapan dan tumpuan yang menjadi pilar kebangkitan umat. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuatannya, mahasiswa merupakan pengibar panji-panji kebenaran dan oposan kebathilan. Beranjak dari ayat diatas, sesungguhnya sangat banyak kewajiban mahasiswa sebagai sekelompok orang-orang terdidik untuk memikul amanat berat yang ada dipundak mereka. Mereka harus berpikir panjang, banyak beramal, bijak dalam menentukan sikap, menjadi penyelamat kebenaran, dan menunaikan hak-hak umat dengan sebaik mungkin.
Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Perubahan Sosial”, mahasiswa sebagai salah satu elemen reformasi adalah the one and only efficient opposant in the world (satu-satunya pengemban amanah oposan yang paling efisien didunia) dalam mengawal perubahan sosial kearah yang lebih baik. Mahasiswa dengan keyakinan kuatnya punya keikhlasan dan idealisme dalam berjuang, semangat untuk merealisasikannya serta punya kesiapan untuk beramal dan berkorban untuk mewujudkannya.
Dalam kenyataannya, ada mahasiswa yang tumbuh dalam situasi bangsa yang dingin dan tenang, dimana kekuasaan telah tertanam kuat dan kemakmuran telah dirasakan oleh warganya. Sehingga mereka yang tumbuh dalam kondisi seperti ini aktifitasnya lebih tertuju kepada egoisme diri sendiri daripada untuk umatnya. Kemudian pada akhirnya tipe seperti ini cenderung main-main dan pasif terhadap dinamika sosial yang ada disekitarnya karena kondisi yang demikian.
Disisi lain, ada juga mahasiswa yang tumbuh dalam situasi bangsa yang keras dan selalu dalam pergolakan, dimana bangsa itu berjuang untuk mengembalikan hak-hak umat yang dirampas, kemerdekaannya yang terancam, tanah air yang terjajah, serta kemuliaan dan keagungan yang hilang. Dalam kondisi seperti itulah kewajiban mendasar dalam diri mahasiswa akan spontan berbuat demi bangsanya daripada melayani kepentingannya sendiri.
Posisi mahasiswa sebagai pengusung nilai-nilai moral dalam konteks kebangsaan menjadi sangat strategis dan menarik untuk dikaji. Dalam percepatan bergulirnya kehidupan, mahasiswa menjadi potensi terpendam dalam merespon setiap perkembangan yang berkaitan dengan kemaslahatan umat. Dalam kilasan sejarah, baik pada scope nasional, regional dan internasional urgensi dan daya dobrak yang luar biasa dari mahasiswa sudah menjadi bukti yang cukup membuat orang-orang yang meremehkan potensi mahasiswa akan berpikir beberapa kali sebelum melakukan tindakan konfrontasi dengan mereka
Terlepas dari fakta sejarah diatas, yang pasti setiap kurun waktu menuntut peran yang berbeda dari mahasiswa. Setiap masa ada pahlawan (pejuangnya) masing-masing. Likulli Marhalatin Rijaluha. Mereka adalah anak zaman yang senantiasa mampu menyesuaikan peran yang harus diembannya, bahkan peran yang sulit sekalipun.
Pelajar dan mahasiswa adalah generasi terdepan umatnya. Sedangkan pemuda dan mahasiswa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai rabbani dan ikhlas demi kejayaan umatnya merekalah harapan yang paling memungkinkan untuk mengemban amanah generasi dimasa depan.
Kekuatan pemuda dan mahasiswa (amal thullaby) adalah mereka senantiasa berada di garis terdepan dalam perjuangan dan mampu terlibat (mobile) dalam segala sektor. Selain itu, mereka juga lebih objektif, dinamis, berpikir positif, selalu bekerja, keterbukaan, tarbiyah (pendidikan), prioritas, akhlaqul karimah, syura bukan diktator, pria dan wanita, penuh perhatian terhadap problema umat dan bersifat internasional (‘alamiyyah).
Di era globalisasi, dimana batas-batas geografis semakin tidak berdaya, mahasiswa dihadapan pada perkembangan mutakhir teknologi informasi yang semakin cepat, mereka dituntut untuk lebih siap dan punya kompetensi, integritas sebagai pemegang tongkat estafet perjalanan bangsa tanpa keluar dari khittah perjuangannya sebagai seorang muslim. Mereka harus membuktikan bahwa mereka bisa menjadi “magnet” dan eksemplifikasi kebaikan bagi orang lain. Indonesia, khususnya Aceh, dengan jumlah penduduk muslim yang mayoritas dan terbanyak didunia diharapkan dengan adanya pemberlakuan syariat Islam yang bisa diterapkan secara total, legal dan formal. Mahasiswa sangat diharapkan dapat menjadi profil dan sosok yang akan dijadikan contoh bagi masyarakat baik dalam kapasitas moral maupun intelektual yang melekat padanya. Mereka harus menjadi artikulator, dinamisator dan fasilitator bagi penyelesaian konflik, ishlahul ummah secara integral dan komprehensif bersama elemen masyarakat lainnya dengan bingkai semangat “revivalisasi” dari nilai-nilai Al-Quran dan Hadist.

Islam Kaffah?
Kita terlalu sering memperdebatkan persoalan terminology dan etimology bahasa (walaupun bukan berarti ini tidak penting), sehingga menyebabkan aplikasi dari terminologi yang lebih nyata di tataran substansial. Perubahan prilaku seorang muslim sejati membutuhkan dimensi yang sangat luas. Kita masih saja berdebat dan berpolemik masalah syariat Islam yang belakangan terjadi diantara sesama muslim. Padahal kita semua tahu dan paham sekali bahwa tujuan kita adalah sama, yaitu menegakkan kalimah Allah di seluruh dunia serta mendirikan khilafah Islamiyah sehingga Islam bisa menjadi ustadzul alam (guru bagi dunia).
Ini semua tentunya membutuhkan pemahaman keislaman yang benar-benar total, integral dan komprehensif, tidak ada dikotomi, parsialisasi, sekulerisasi dan pemisahan antara satu dan lainnya. Kesempurnaan Islam (syumuliatul Islam) dalam asas, konsep, metodologi, ghayah (tujuan) dan segala dimensi yang ada padanya harus diaktualisasikan secara baik disetiap pribadi mahasiswa. Kesempurnaan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin bagi semua umat manusia, siapapun dia, tanpa mengenal batas geografis, bangsa (nasionalisme), suku, agama, warna kulit, strata sosial, dan semacamnya. Totalitas Islam juga merangkul segala aspek dunia dan akhirat, tidak ada polarisasi dan parsialisasi pemahaman Islam hanya untuk akhirat. Islam juga untuk kemasalahatan umatnya didunia. Islam tidak hanya bicara tentang masalah ibadah melulu, Islam juga tidak mengatakan politik (siyasah) adalah satu-satunya kondisi untuk mengembalikan kejayaan Islam. Setiap dimensi sosial kemasyarakatan, politik, budaya, militer, pertahanan kemananan, ekonomi, moral, pendidikan adalah milik Islam. Tidak ada sekat diantara keduanya, Islam adalah agama yang moderat (tawazun), seimbang, toleran tapi juga punya izzah dan iffah bagi yang dzalim terhadapnya.
Barangkali Al Wala” (loyalitas, dedikasi, kepatuhan, taat) dan Al bara’ (penolakan, kebencian) kita terhadap Allah yang menjadi sumber kekuatan akidah, terkadang sesama umat Islam bisa saling hujat, saling hina dan saling mengkafirkan tapi bisa dengan sangat mudah dan toleran terhadap pemerintah yang tiran dan korup, kita bisa dengan gampang mengatakan amar makruf belum dibutuhkan dengan alibi, belum tegaknya syariat dan negara Islam. Harus diingat hal ini bisa menimbulkan perpecahan internal ditubuh umat Islam (tidak kondusif bagi pengkondisian menuju khilafah islamiyah), yang paling berbahaya tentunya orang-orang yang benci dengan islam akan mengambil keuntungan dari situasi ini (mereka akan tertawa dan bertepuk tangan melihat pertentangan diantara kita). Sayangnya perbedaan dalam hal sarana (washilah) dalam mencapai tujuan yang sama, membuat kita saling menyalahkan satu sama lain.
Kesadaran dan kesiapan kita dalam menghargai perbedaan akan menjadi kahazanah dan mozaik yang akan menjadikan kita lebih kreatif, dinamis dan inovatif tanpa meninggalkan asas, ghayah, dan identitas kita sebagai muslim. Berhimpun, bukan berpecah belah, itulah karakter khas dari perjuangan kita. Biarkan kita saling ber-fastabiqul khairat dan ta’awun dalam berdakwah dalam bingkai nahnu du’at qabla kulli syai’in (kita adalah da’i penyeru kebaikan, sebelum segala sesuatunya ada). Yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai “Sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara (ikhwah)”, bisa menjadi dasar keumuman dakwah Islam bagi semua kalangan; kaya-miskin, tua-muda, atasan-bawahan sekaligus tidak berafiliasi kepada golongan tertentu. Ambil setiap manfaat, ibrah, sisi positif dan ilmu dari setiap karakter yang berbeda tersebut agar dakwah menuju penegakan syariat akan lebih muntijah. Karena dakwah lebih mengarah secara substansial agama daripada membuang energi dalam perdebatan hal-hal fur’iyah dan bukan asas.
Sebenarnya yang kita inginkan adalah menyatukan seluruh potensi kebaikan, pikiran, potensi agar kerja lebih menghasilkan sesuatu yang besar, bermanfaat dan tepat sasaran. Kita harus menanamkan indahnya kebersamaan, kecintaan pada ijma’ dan membenci keanehan. Dan sangat tepat apa yang dikatakan olah salah seorang ulama besar, Dr.Yusuf Qardhawi : “Wahai umat Islam, mari kita laksanakan hal-hal yang kita sepakati dan bertoleransi dalam hal-hal yang kita tidak sepakati” dikarenakan perbedaan adalah sesuatu yang niscaya (khususnya dalam masalah furu’) dan ijma’ dalam masalah furu’ adalah mustahil, karena ia adalah tabiat dari aktualitas yang menyertai setiap zaman dan menghindarkan sikap fanatis berlebihan, jumud, jahil, kebekuan dan ekstrimisme.

Evolusi, bukan revolusi
Perlu diketahui dalam mencapai ahdaf (tujuan), kita paham bahwa ada proses yang harus dilalui. Ini adalah sunnatullah alamiyah yang berlaku kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Ada tahapan yang harus dipersiapkan. Jangan sampai ketergesaan (isti’jal) kita dalam mencapai tujuan yang mulia, membuat kita lupa akan pentingnya marhalah (tahapan dakwah) dalam setiap kondisi. Perencanaan strategis penting untuk menghindari pencapaian sasaran yang efektif dan efisien. Ini membuat kita lebih dewasa dan fleksibel menghadapi keanekaragaman objek dakwah.
Menurut hemat saya, paling tidak ada tiga tahapan menuju sebuah tujuan atau target yang diinginkan yaitu, tahap konsolidasi (taa’ruf/pengenalan medan), koordinasi (tafahum/pemahaman medan) serta ekspansi (perluasan medan dakwah). Ketidaksigapan kita dalam membaca situasi akan membuat kita gagap dan kehilangan tujuan (disorientasi). Pemaksaan kondisi yang belum pada saatnya menjadikan segala yang telah kita usahakan sebelumnya akan menjadi sia-sia belaka.
Intinya revolusi tidak akan menyelesaikan masalah secara komperhensif, dan hanya akan membuat kerja kita akan semakin sulit dan tidak terarah. Sedangkan evolusi akan membuat kita lebih matang dalam menyikapi permasalahan dan bertahan (survive) sekalipun dalam keadaan yang sangat genting.

Siapa yang akan mengembalikan bangunan yang hilang?
Akhir-akhir ini semangat (ghirah) ber-Islam yang berkembang sudah sangat luar biasa dan patut disyukuri. Namun, perlu menjadi catatan penting bagi kita, bahwa semengat Islam jangan sampai tidak bisa diarahkan pada jalurnya sehingga stereotype dari citra Islam yang baik bisa keluar jalur, hal ini perli dijaga bersama. Kita harus bisa menjadi orang-orang yang saleh secara individu tapi juga saleh secara sosial. Jangan sampai umat Islam kehilangan jatidiri karena meminjam kepribadian yang lain yang terlihat indah dengan balutan kamuflase globalisasi dan westernisasi atau provokasi dari pihak-pihak yang seolah-olah mencintai Islam tapi sebenarnya menghancurkan Islam.
Tidak diragukan lagi mahasiswa sangat diharapkan oleh umat untuk menjalankan misi suci mengembalikan ”Assyakhsiyyah Islamiyah” yang telah pudar. Segala potensi yang ada padanya baik dalam cakupan agent of change, iron stock dan da’i ilallah adalah demi memperjuangkan kebenaran. Dengan Tridharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) dan Trikarya Perguruan Tinggi (Institusionalisasi, Profesionalisasi dan Transpolitisasi) menjadikan mahasiswa dan kampus sebagai tumpuan hati umat. Tidaklah berlebihan jika Aldi Anwar menyebut pemuda dan mahasiswa sebagai generasi pendobrak, karena satu-satunya aset umat yang masih tersisa untuk bangkit adalah mahasiswa!

Tidak ada komentar: