Selasa, 17 Mei 2011

Badal Haji


Perintahpelaksanaan haji merupakan suatu kesepakatan umat Islam yang tidak dapat dibantahkansebab banyak ditemukan dalil-dalil keagamaan yang memang secara tegas mewajibkannya.[1] Bahkan,dalam beberapa tempat dalam dalil-dalil keagamaan, khususnya hadis disebutkanbahwa pelaksanaan haji merupakan bagian dari kelima rukun Islam—syahadat,shalat, puasa, zakat—yang mesti dijalankan oleh seorang muslim karena apabilatidak melaksanakannya tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan belumlahsempurna keislaman seseorang tersebut.
Seven Wonders of The Muslim WorldPerintahpelaksanaan ibadah haji ini—disamping ibadah lainnya—memiliki implikasitersendiri bagi para pelaksananya sebab tidak ada ibadah yang dilaksanakantanpa memiliki nilai edukasi (hikmah) di dalamnya yang bertujuan supaya parapelaksananya benar-benar dapat menangkap pesan-pesan yang terurai dari setiapproses pelaksanaan ibadah tersebut.[2] Dalamkaitan ini, untuk menjelaskan implikasi pesan-pesan yang terangkum dalampelaksanaan ibadah secara tegas Muhammad Al-Ghazalî mengatakan: ibadah-ibadahyang disyari‘atkan di dalam Islam dan dianggap sebagai rukun iman bukanlahsebatas upacara ritual yang kosong, yang menghubungkan antara manusia dengansesuatu alam gaib yang tidak jelas yang mengharuskan untuk melihatkanperbuatan-perbuatan dan gerakan-gerakan yang tidak mempunyai makna. Sebenarnyabukanlah demikian. Semua ibadat yang disyari‘atkan oleh Islam untukdilaksanakan oleh pemeluknya merupakan latihan yang terus menerus dilaksanakanagar pelakunya hidup dengan penuh akhlak dan moral yang baik serta benar, walaubagaimanapun situasi dan kondisi yang dihadapinya....., Begitulah, jangandikira bahwa seseorang yang pergi berangkat ke tanah suci untuk melaksanakanibadah haji bukanlah sekedar perjalanan, tetapi syarat dengan makna danpesan-pesan moral yang mulia”.[3]

Dalam konteksibadah haji, menariknya bahwa pelaksanaan ibadah ini hanya dituntut bagi orangyang memiliki kemampuan saja, baik materil dan spritual. Persyaratan kemampuan materialdan spiritual tentunya memiliki konsekuensi tersendiri sebab kemampuan yangkedua ini tidak semua umat Islam memilikinya dan dapat memenuhinya maka tidakmengherankanlah nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaannya tidak ditemukandalam ibadah lainnya. Dengan kata lain, Islam memberikan dispensasi bagi yangbelum dapat memenuhi persyaratan tersebut untuk tidak melaksanakan ibadah haji.Namun, tetaplah umat Islam dituntut untuk berupaya semaksimalnya memenuhikewajiban pelaksanaan ibadah haji tersebut.
Kuatnya perintahpelaksanaan ibadah haji ini disertai juga dengan pujian dan imbalan yang besarbagi orang-orang yang benar-benar ikhlas dalam melaksanakannya yang hanyasemata-mata untuk menunjukkan kepatuhan kepada Allah Swt. karena sesungguhnyaibadah tanpa didasari keikhlasan hanya akan mendatangkan kesia-siaan bagi pelaksananya.Untuk itu jugalah, tidak mengherankan kalau Islam juga memberikan ancaman bagiorang-orang yang memiliki kemampuan melaksanakan ibadah haji, tetapi tidakmelaksanakannya.
Ancaman bagi orang-orangyang tidak mau melaksanakan ibadah haji padahal sesungguhnya telah mampu untuk memenuhipersyaratan tersebut oleh Islam dipandang sebagai orang yang akan mati dalamkeadaan Yahudi dan Nasrani. Ancaman ini setidaknya mengisyaratkan dua hal. Pertama,bahwa bagi semua orang Islam yang telah memenuhi segala persyaratan dalam melaksanakanibadah haji tidak ada lagi negosiasi kecuali harus melaksanakannya;[4] Kedua,bagi orang yang belum memenuhi persyaratan untuk melaksanakan haji harusberupaya—atau paling tidak memiliki keinginan—untuk melaksanakannya.
Dalam kaitan diatas—tidak sampai di situ saja—bahwa ternyata perintah pelaksanaan ibadah hajiini juga dibebankan bagi orang yang tidak memungkin lagi untuk melaksanakanibadah haji tersebut—baik itu disebabkan oleh keuzuran atau telah meninggaldunia—dengan cara membebankan kepada orang lain untuk melaksanakannya atas namaorang tersebut, yang dalam istilah fikih disebut dengan haji badal—ini yangmenjadi konsentrasi penelitian ini. Pelaksanaan haji badal ini walaupunsebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama mazhab fiqih, khususnyasiapa yang berhak untuk melaksanakannya, tetapi ada semacam kesepakatan bahwahaji badal tersebut memang diperkenankan oleh dalil keagamaan.
Namun, dalamteknis pelaksanaannya tentang siapa yang berhak melaksanakannya terjadikeberagaman pendapat ulama tentang ini. Perbedaan pendapat ulama tentang ininampaknya sangat berkaitan dengan persyaratan utama haji tersebut tentang istitha‘ah(kemampuan material dan spiritual) melaksanakan haji sebagai syarat utamanya. Makatentunya seseorang yang telah uzur yang tidak mungkin untuk sembuh kembali,atau orang yang telah meninggal tidak memenuhi syarat istitha‘ah ini untukmelaksanakan ibadah haji tersebut.


[1]Dalam Al-Qur’an paling tidak ditemukan beberapa ayat yangberbicara langsung tentang haji tersebut, di antaranya disebutkan dalam Q.S.Ali Imrân/3:97;Q.S. Al-Hajj/22:27;Q.S. Al-Baqarah/2:196,dan lainnya. Namun, ayat-ayat yang disebut ini tidak ada satupun yang tegastentang perintah pelaksanaan ibadah haji, berbeda dengan perintah ibadah yanglainnya yang termasuk kategori mahdah. Umpamanya, dalam perintah ibadahsalat Al-Qur’an menggunakan kata “aqimu”, ibadah puasa digunakan kata “kutiba”,dan ibadah zakat digunakan kata “atû”. Nampaknya, perintah pelaksanaanibadah haji ini selain sebab seringnya diulang-ulang Al-Qur’an penyebutanibadah haji juga ditegaskan oleh banyak hadis-hadis yang berkaitan denganpelaksanaan ibadah haji tersebut.
[2]‘AlîAhmad Al-Jurjawî, Hikmah Tasyrî‘ waFalsafatuh, Cet. IV, Vol. I (Mesir: Jami‘ah Al-Azhar Al-‘Ilmiyah, 1938), h. 98.
[3]MuslimNasution, Haji dan Umrah (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 7.
[4]Dalamkonteks persyaratan pelaksanaan haji ini para ulama menetapkan setidaknya adalima hal, yaitu 1) Islam; 2) baligh; 3) berakal sehat; 4) merdeka; dan 5)mampu. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol. I (r Al-Kib Al-‘Arabî,1985), h. 302.

Tidak ada komentar: