Sabtu, 26 November 2011

Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dengan Prinsip Egalitarian Dalam Hukum Perkawinan Islam


(Kajian Normatif dan Historis Kontekstual tentang Konsep Fiqh al-Kafa’ah)
Oleh: Sulhani Hermawan, M.Ag. *
A.    Pendahuluan
Hukum perkawinan Islam dibangun untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dengan pernikahan tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan adalah segala sesuatu yang merupakan kebaikan atau yang menyebabkan timbulnya kebaikan dan b ukan merupakan sebuah kemudlaratan atau sesuatu yang menolak munculnya berbagai kemudlaratan di dalam kehidupan perkawinan bagi pihak yang bersangkutan dan bagi masyarakat di sekitarnya. Kemaslahatan perkawinan juga berarti segala sesuatu yang digunakan un tuk meraih maqashid al-syari’ah dari perkawinan, baik yang bersifat ashliyyah atau tabi’ah dan baik yang bersifat dlaruriyyah, mukmilah dlaruriyyah, hajiyyah maupun mukmilah hajiyyah. Kemaslahatan perkawinan yang termasuk ke dalam maqashid ashliyyah adalah meneruskan keturunan yang merupakan penjagaan langsung terhadap salah satu al-ushul al-khamsah yang berupa al-nasl. Sedangkan kemaslahatan perkawinan yang bersifat tabi’ah adalah mencari ketenangan ( sakinah), membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan sebagainya yang merupakan penjagaan tidak langsung terhadap aspek al-nasl.1 Kemaslahatan perkawinan yang berupa meneruskan keturunan (dengan cara melakukan perkawinan) tersebut, juga berarti mashlahah dlaruriyah. Kemaslahatan perkawinan yang berupa penyaluran kebutuhan biologis secara benar (yang menolak zina) merupakan mukmilah al-dlaruriyah.
Sedangkan kemaslahatan yang berupa kelanggengan ikatan perkawinan, keharmonisan rumah tangga, saling berbagi ka sih sayang, ketenangan dan cinta adalah mashlahah hajiyah.2 Di sisi lain, hukum perkawinan Islam juga merupakan bagian dari ajaran Islam secara keseluruhan, yang berarti tidak bisa terlepas dari prinsip egalitarian. Hal ini karena, sejak sangat awal Islam telah menetapkan prinsip egalitarian tersebut dalam bentuk yang paling sempurna dan harus dipegangi oleh setiap Muslim. Islam menetapkan bahwa tidak ada keutamaan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya kecuali keutamaan yang didasarkan pada prestasi, perbuatan dan pengabdian masing -masing kepada Allah, dirinya sendiri, masyarakat dan kemanusiaan secara menyeluruh. 3  
Secara nyata, Islam menolak segala bentuk stratifikasi dan pembedaan sosial serta ketidaksetaraan hak-hak asasi manusia atas dasar perb edaan fisik, kekayaan, profesi, keturunan, kesukuan, ras dan sebagainya. 4 Hak-hak asasi manusia yang merupakan hak - hak yang dimiliki oleh manusia karena kemanusiaannya 5 adalah hak-hak dasar yang diletakkan Islam bagi seluruh manusia. 6 Dan selanjutnya, hal ini menimbulkan keniscayaan akan adanya egalitarian dalam hak -hak alamiah dalam hukum perkawinan Islam, terutama hak untuk membangun hubungan perkawinan.
Dari kedua prinsip tersebut, kemudian muncul beberapa aturan main dan aplikasi hukum tertentu di dalam hukum perkawinan Islam. Tentu saja, kedua prinsip di atas harus berjalan beriringan dan saling melengkapi, karena masing -masing memiliki dasar hukum yang kuat. Dengan begitu, maka seharusnya tidak ada aplikasi aturan hukum tertentu yang lebih cenderung pada satu prinsip dan mengabaikan prinsip yang lainnya. Namun, ternyata di dalam salah satu aturan main di dalam hukum perkawinan Islam (yang kemudian oleh beberapa madzhab hukum Islam dan beberapa aturan perundangan negara dijadikan sebagai sebuah aturan hukum) yang bernama al-kafa’ah, terjadi penekanan prinsip kemaslahatan perkawinan dan agak mengabaikan prinsip egalitarian. Al-Kafa’ah adalah sebuah aturan main dalam hukum perkawinan Islam yang
mengatur kesesuaian dan kesebandingan seorang calon suami de ngan calon istri dan keluarganya dalam beberapa hal tertentu, 7 baik bersifat sosial kemasyarakatan ( social comparability) maupun bersifat keagamaan ( religious comparability).8 Beberapa pendukung konsep ini, mengajukan argumentasi kemaslahatan perkawinan u ntuk menjadikannya sebagai aturan hukum yang bersifat mengikat, 9 sementara itu para penolaknya (terutama yang bersifat sosial), mengajukan argumentasi prinsip egalitarian Islam untuk menegasikannya sebagai aturan hukum yang bersifat mengikat. 10
Berdasarkan latar belakang kasus al-kafa’ah tersebut, maka menjadi layak untuk dikaji, bagaimanakah pertentangan prinsip kemaslahatan perkawinan dengan prinsip egalitarian tersebut, dan mengapa bisa terjadi, ditinjau secara normatif tekstual dan terutama historis kontekstual. Tujuan yang ingin dicapai adalah mengetahui secara signifikan mengapa hal tersebut bisa terjadi (tanpa mengabaikan argumentasi normatif tekstual yang mengiringinya) sehingga akan bisa dipikirkan seperti apakah format hukum yang layak untuk diaplikasikan pada hukum perkawinan Islam di masa depan.
B. Tinjauan Normatif Prinsip Kemaslahatan Perkawinan Terhadap Konsep al-
Kafa’ah
Berdasarkan kategorisasi kemaslahatan yang bersifat ashliyyah dan tabi’ah, pensyariatan al-kafa’ah digunakan untuk mewujudkan adanya maqashid tabi’ah. Hal ini karena tujuan al-kafa’ah adalah untuk menciptakan rumah tangga yang dipenuhi dengan sakinah, mawaddah wa rahmah, menghilangkan adanya cela atau aib sosial, dan menghindarkan bahaya fisik dan sosial yang mungkin timbul. Men urut para pendukungnya, baik dari madzhab Hanafiyah11, Malikiyah12, Syafi’iyah13, maupun Hanabilah14, kesepadanan antara calon suami dengan calon istri dan keluarga calon istri secara sosial dan keagamaan merupakan sebuah jalan yang harus (atau perlu) ditempuh untuk mewujudkan maqashid yang dimaksudkan di atas. Sedangkan apabila ditinjau dari pengaruh kekuatan mashlahah terhadap kepentingan umum, maka konsep al-kafa’ah dapat dikategorikan sebagai salah satu mukmilat al-hajiyah, karena bertujuan untuk mewujudkan mashlahah hajiyah yang berupa menciptakan kelanggengan perkawinan, keharmonisan rumah tangga, pembagian cinta, kasih sayang dan ketenangan. 15
Dari sudut pandang sandaran dalil secara langsung, konsep al-kafa’ah dibangun di atas dalil-dalil hadits. Maka, kemaslahatan yang ingin dicapai melalui konsep ini adalah mashlahah mu’tabarah dan bukan mashlahah mulghah. Namun, hadits-hadits pendukung al-kafa’ah, terutama yang bersifat social adalah hadits-hadits yang berada dalam tingkatan dhanni al-wurud dan dhanni al-dilalah, karena dinilai sebagai hadits dla’if atau hasan li ghairih.16 Oleh karena itu, mashlahah dari pensyariatan al-kafa’ah yang bersifat social adalah mashlahah dhanniyyah. Sementara itu, konsep yang bersifat religious didukung oleh hadits hasan17 dan hadits shahih18, namun bukan hadits mutawatir, sehingga dinilai memiliki kekuatan yang dhanni, dan kekuatan mashlahah-nya bersifat dhanniyyah. Dengan demikian, kemaslahatan yang ada di dalam konsep al-kafa’ah dinilai sebagai mashlahah dhanniyyah.
C. Tinjauan Normatif Prinsip Egalitarian Terhadap Konsep al-Kafa’ah
Konsep al-kafa’ah yang bersifat sosial mendapatkan pertentangan dari beberapa ahli fiqh berdasarkan argumentasi kesetaraan hak asasi manusia, terutama hak untuk mengikatkan diri di dalam ikatan per kawinan. Aturan ini dinilai telah menegasikan prinsip egalitarian yang telah dibangun oleh Islam, padahal prinsip egalitarian benar –benar didasarkan pada dalil yang kuat. Oleh karenanya, konsep al-kafa’ah terutama yang bersifat sosial, tidak bisa menjadi s ebuah aturan hukum. Hak untuk menilai status dan kesebandingan seseorang adalah hak Allah semata dan bukan hak manusia. 19
Selain argumentasi egalitarian secara umum, konsep al-kafa’ah yang bersifat sosial juga mendapatkan penolakan dari dalil khusus egalita rian tentang perkawinan. Ada beberapa dalil hadits yang menceritakan tentang penentangan Nabi Muhammad terhadap pertimbangan “status sosial” seseorang untuk masuk ke dalam sebuah ikatan perkawinan.
Dalil-dalil tersebut antara lain adalah hadits tentang per kawinan Fatimah Binti Qays, seorang perempuan dari bangsawan Quraisy yang cantik, dengan Zaid bin Usamah, seorang bekas budak, atas nasehat Nabi Muhammad. 20 Selain itu, hadits tentang lamaran Bilal, seorang bekas budak non-Arab yang berkulit hitam, pada seo rang perempuan Anshar yang cukup terpandang dan adanya perintah Nabi Muhammad untuk menerimanya, 21 serta perkawinan Abu Hindun, seorang tukang bekam, dengan perempuan Bani Bayadlah, yang merupakan bangsawan Arab yang kaya atas perintah Nabi Muhammad. 22 Berdasarkan prinsip egalitarian secara umum dan secara khusus di bidang perkawinan, jelas bahwa ketidaksekufuan dalam hal keturunan, kekayaan, ras, fisik, profesi, status kemerdekaan dari perbudakan dan hal -hal yang bersifat sosial lainnya, menurut Islam tidak bisa menjadi pertimbangan yang berarti dan bisa diabaikan. Lebih jauh lagi, tentu konsep al-kafa’ah tidak bisa (tidak perlu) menjadi sebuah aturan hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Namun, konsep al-kafa’ah yang bersifat moral keagamaan, agaknya tidak mendapatkan pertentangan yang berarti dari para ulama fiqh, bahkan didukung, berdasarkan argumentasi prinsip kemaslahatan perkawinan yang dinilai tidak bertentangan dengan prinsip egalitarian dalam Islam.
Meski demikian, semua konsep al-kafa’ah, baik yang bersifat sosial maupun moral keagamaan, dan baik yang sudah diatur di dalam fiqh maupun di dalam aturan perundangan di beberapa negara Muslim, masih menyisakan pertanyaan. Hal ini terjadi apabila dikaitkan dengan rumusan Universal Declaration of Human Righ ts (UDHR) tahun 1948. Konsep dan aturan al-kafa’ah dapat dinilai bertentangan dengan kesetaraan hak untuk menikah yang ditetapkan sebagai hak absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Secara jelas, pasal 16 ayat (1) UDHR menyatakan, “ Men and women of full age without any limitation due to race, nationality, or religion, have the right to marry and to find a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and its dissolution.”23
D. Tinjauan Historis Kontekstual Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dan Prinsip Egalitarian Dalam Konsep dan Aturan al-Kafa’ah
Al-Kafa’ah memiliki kesejarahan panjang di dalam hukum perkawinan, terutama apabila dikaitkan dengan operasional prinsip kemaslahatan perkawinan dan prinsip egalitarian. Pembahasan kali i ni akan dimulai dari masa Arab pra -Islam sampai pada masa berkembangnya madzhab-madzhab fiqh Islam. Pada masa Arab pra-Islam, sebagaimana di tempat lain dan di masa yang lain, terdapat gambaran ideal tentang calon pasangan hidup. Gambaran ideal calon istri adalah perempuan terhormat dari keturunan yang baik (meski tidak selalu harus kaya), baik budi, muda, perawan, subur (tidak mandul), cantik, sopan, pintar, penuh kasih sayang, jujur, cakap, enerjik, produktif, lemah lembut dan periang. Sedangkan gambaran ideal calon suami adalah laki-laki muda dari keturunan luhur bangsa Arab, penyanyang, jujur, pandai bergaul, menyenangkan, murah hati, berani, terhormat dan sosial. Calon suami yang ideal harus memiliki status sosial yang sepadan dalam hal keturunan, kemul iaan, dan kemasyhuran.24
Al-Kafa’ah kemudian menjadi tuntutan keharusan dan pertimbangan utama dalam perkawinan, dan bahkan menjadi tradisi asli orang Arab. Poin yang sering dipersyaratkan adalah keturunan, harta kekayaan, mahar dan hal -hal sosial lainnya. Sistem aristokrasi, kebangsawanan, stratifikasi sosial dan sebagainya merupakan pupuk bagi tumbuhnya sistem al-kafa’ah, dengan didasarkan pada kemaslahatan perkawinan, individual dan kolektif.25 Pada awal Islam, ternyata konsep al-kafa’ah masih berlaku,26 meski kemudian, menurut Ziadeh, ditentang secara kuat oleh al -Qur’an dan Nabi Muhammad. 27 Islam berusaha menghapuskan konsep al-kafa’ah yang bersifat sosial dan menggantinya dengan konsep al-kafa’ah yang bersifat moral keagamaan, yaitu dalam bentuk kesalehan dalam keberagamaan dan ketaqwaan. 28 Hambatan sosial dibuka dan masyarakat dibiasakan untuk memahami kesekufuan dalam keberagamaan, sehingga menjadi watak masyarakat Islam. 29 Sikap egalitarian Islam ini kemudian tumbuh di kalangan masyarakat Madinah dan bahka n menjadi sebuah sunnah. Inilah agaknya yang menyebabkan penduduk Madinah tidak terlalu mempersoalkan al-kafa’ah di dalam perkawinan. Seiring dengan itu menjadi bisa dipahami mengapa Imam Malik tidak menyebut -nyebut al-kafa’ah yang bersifat sosial di dalam al-Muwaththa’.
Pada masa kemunculan madzhab fiqh, al-kafa’ah menjadi sebuah ketentuan yang khas di dalam madzhab fiqh lama yang ada di Kufah. Al-Kafa’ah menjadi usaha untuk melindungi kepentingan wali di dalam perkawinan demi menjaga nama baik keluarga. H al ini karena perempuan dewasa yang berada di bawah perwalian memiliki hak dan kebebasan mandiri untuk menikahkan dirinya sendiri. 30 Tokoh utama di balik hal ini adalah Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah (wafat 150 H) yang merupakan pendiri madzhab Hanafiyah yang muncul di Kufah.31
Meskipun Abu Hanifah memberikan hak dan kebebasan menikah bagi perempuan yang dewasa, namun beliau juga memberikan keleluasaan kepada wali nikah untuk mempertimbangkan dan menilai kesekufuan di dalam diri calon suami. Selain itu Abu Hanifah juga memberikan penekanan untuk menjadikan al-kafa’ah sebagai salah satu syarat nikah, agar perempuan yang akan diperistri dan walinya tidak jelek reputasinya gara-gara perkawinan tersebut. 32
Di Kufah, Abu Hanifah menemukan masyarakat yang sangat berag am dan kompleks dengan kesadaran kelas yang tinggi, yang tidak dirasakan oleh masyarakat Madinah. Di Kufah, kelompok-kelompok etnis bercampur-baur, tradisi urbanisasi telah lama ada, Arab dan non-Arab berhadap-hadapan, diferensiasi sosial benar -benar memiliki hasil. Menurut Ziadeh, ini merupakan faktor penting dikembangkannya konsep al-kafa’ah oleh madzhab Hanafiyyah dan kemudian menyebar ke daerah lain serta diadopsi oleh madzhab-madzhab lain dan ketentuan perundangan di beberapa negara Islam. 33
Tetapi, faktor Kufah dan Iraq yang kompleks bukan satu -satunya faktor penting dikembangkannya al-kafa’ah oleh Hanafiyah. Di Maroko, sebagaimana di Kufah, masalah - masalah sosial, kesebandingan keluarga dan ekonomi tetap bertahan dan dilestarikan, namun kesekufuan status sosial tidak menjadi aturan hukum. 34 Fakta lain, lingkungan Kufah agaknya tidak mempengaruhi Sufyan al -Tsauri (wafat 161 H), seorang faqih Arab yang hidup di Kufah semasa Abu Hanifah, beliau menolak konsep al-kafa’ah yang bersifat sosial, dengan argumentasi prinsip egalitarian.35 Mensikapi hal ini, Al-Sarakhsyi menyatakan bahwa al-Tsauri menunjukkan kerendahan hatinya dan menyamakan dirinya seperti orang non-Arab, sebaliknya Abu Hanifah, yang asli Persia, mendudukkan orang Arab di atas non-Arab karena juga menunjukkan kerendahan hatinya. 36 Sementara itu, Abu Yusuf, seorang Arab asli murid Abu Hanifah, mempertimbangkan kriteria profesi dalam konsep al-kafa’ah untuk menghormati kebiasaan masyarakat Iraq. 37 Namun, hal ini menurut Ziadeh cukup naif, mengingat arg umentasi prinsip yang mereka lontarkan berbeda.38
Faktor penting lain yang tidak bisa dikesampingkan adalah sistem perkawinan Hanafiyah yang liberal (meski juga pengaruh dari lingkungan yang liberal), yang berupa kebebasan menikah seorang perempuan dewasa t anpa campur tangan wali. Al-Kafa’ah dimaksudkan untuk melindungi kepentingan keluarga perempuan secara sosial. Apabila calon suami tidak sekufu, maka persetujuan wali menjadi mutlak adanya. Berbeda dengan Malikiyah, yang menjadikan wali menjadi unsur penti ng di dalam sebuah perkawinan, sehingga secara otomatis tidak memerlukan konsep al-kafa’ah yang bersifat sosial sebagai aturan hukum.39
Analisis ini bisa membantu menjelaskan juga mengapa al -Syafi’i hanya membicarakan al-kafa’ah dengan aturan umum dan para pengikut madzhabnya melanjutkan pembicaraan secara lebih luas dan detail. Al -Syafi’i berargumen bahwa alkafa’ah lebih bertujuan untuk melindungi calon istri dari akad nikah yang tidak “benar” daripada melindungi kepentingan wali dari rasa malu akibat perk awinan orang yang berada di bawah perwaliannya. Dan kedua tujuan tersebut (bukan salah satu saja) merupakan basis utama argumentasi kemaslahatan perkawinan dari konsep al-kafa’ah.
Dan kalau demikian, maka secara historis kontekstual, al-kafa’ah muncul sebagai tuntutan yang wajar, sebagai respon terhadap kondisi sosial kemasyarakatan yang berkembang dan kemudian muncul sebagai aturan hukum, sebagai akibat logis dari aturan hukum perkawinan lain yang sudah ditetapkan. Pendek kata, argumentasi kemaslahatan perkawinan dan argumentasi egalitarian diterapkan secara berbeda, karena perbedaan respon terhadap situasi sosial kemasyarakatan dan logika hukum yang sudah ada.
Kesimpulan dan Penutup
Dari pembahasan di atas bisa disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Prinsip kemaslahatan perkawinan dan prinsip egalitarian adalah dua prinsip yang harus
ada dan berjalan sejalan di dalam hukum perkawina Islam. Dalam kasus al-kafa’ah, kedua prinsip tersebut menjadi bisa dipertentangkan. Prinsip kemaslahatan perkawinan, baik secara normatif maupun historis, menjadi argumentasi pendukung al-kafa’ah, sedangkan prinsip egalitarian, terutama prinsip kesetaraan hak untuk menikah, menjadi argumentasi penolak al-kafa’ah, terutama dari aturan hukum yang mengikat.
2. al-Kafa’ah dalam hukum perkawinan Islam adalah konseptualisasi para ulama fiqh yang mencoba memecahkan persoalan pada masa dan tempatnya masing –masing disertai logika kemaslahatan perkawinan. Konsep ini sudah ada, jauh sebelum Islam datang, dan mengalami pasang surut dalam sejarahnya sesuai dengan argumentasi kemaslahatan perkawinan dan argumentasi egalitarian Islam.
3. Berdasarkan prinsip kemaslahatan perkawinan, al-kafa’ah niscaya menjadi sebuah pertimbangan sosial untuk kebaikan semua pihak. Namun berdasarkan prinsip egalitarian, al-kafa’ah tidak bisa menjadi sebuah aturan hukum, baik di dalam fiqh ataupun di dalam aturan perundangan negara.
Demikianlah kesimpulan yang bisa diambil dan sekaligus merupakan penutup dari seluruh pembahasan yang ada.

* Sulhani Hermawan, M. Ag. adalah dosen Jurusan Syari’ah dan staf P3M STAIN Surakarta.
1 Lihat Yusuf Hamid ‘Alim, al-Maqashid al-‘Ammah li al-Syari’ah al-Islamiyyah (USA: International
Graphics Printing Service, 1991), hlm. 102.
2 Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, cet. I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), Jilid II, hlm. 772 dan
1025.
3 Abdul Wahid Wafi, al-Musawah fi al-Islam, Anshari Umar Sitanggal dan Rosichin (penterjemah),
(Bandung: al-Ma’arif, 1984), hlm. 14.
4 Abu al-A’la Maududi, “Human Rights, The West and Islam ” dalam Tahir Mahmood (editor), Human Rights
in Islamic Law (New Delhi: Genuine Publications, 1993), hlm. 1.
5 Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and
International Law, cet. VI (New York: Syracuse Univers ity Press, 1999), hlm. 164.
6 Shawkat Husain, “Human Rights” dalam Tahir Mahmood (editor), Human Rights…, hlm. 84.
7 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Syari’ah al-Islamiyyah Baina Madzahib Ahl al -Sunnah wa Madzhab al-Ja’fariyyah, cet. II (Mesir: Maktabah Dar al-Ta’lif, 1968), hlm. 129 dan Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, cet. II (ttp.:Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957), hlm. 156.
8 Hammudah menyebutnya dengan terma “social equality” dan “religious equality”, lihat Hammudah Abd al - ’Ati, The Family Structure in Islam (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 87.
9 Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Umar al -Dairabi al-Syafi’i, Ahkam al-Zawaj ‘Ala Madzahib al-Arba’ah: al-
Musamma Ghayah al-Maqshud li Man Yata’atha al-‘Uqud, Musthafa ‘Abd al-Qadir ‘Atha’ (notasi), Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), hlm. 155 dan Muhammad Zaid al -Ibyani, Syarh al-Ahkam al- Syari’ah fi al-Ahwal al-Syakhshiyyah li Muhammad Qadri Basya (Beirut: Maktabah al-Nahdah, t.t.), hlm. 94- 95 serta Mahmud Syalthuth, al-Islam, Aqidah wa Syari’ah, cet. I (ttp.: Dar al-Qalam, 1966), hlm. 159.
10 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Syari’ah al-Islamiyyah…, hlm. 131 dan Muhammad Jawad
Maghniyyah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, cet. I (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1963), hlm. 43.
11 Lihat Kamal al-Din Muhammad bin ‘Abd al -Wahid al-Siwasi, al-ma’ruf bi Ibn Humam al-Hanafi, Syarh
Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), jilid III, hlm. 293-294 dan ‘Ala’ al-Din Abu Bakr bin Mas’ud al -
Kasani al-Hanafi al-Mulaqqab bi Malik al-‘Ulama’, Bada’i’ al-Shana’i’ fi Tartib al-Syara’i’, cet. I, ed.
Revisi (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), jilid II, hlm. 469.
12 Lihat al-Qadli ‘Abd al-Wahhab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘Ala Mazhab ‘Alim al -Madinah al-Imam Malik
bin Anas, Humayisi ‘Abd al-Haqq (notasi), (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid II, hlm. 748.
13 Lihat Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris al -Syafi’i, al-Umm, Mahmud Matraji (notasi), cet. I (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), jilid V, hlm. 25-26 dan Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al -Ghazali,
al-Wasith fi al-Madzhab, yang disertai oleh Muhyi al -Din bin Syaraf al-Nawawi, al-Taftih fi Syarh al-Wasith,
Abu Amr dan Utsman bin al -Shalah, Syarh Musykil al-Wasith, Muwafid al-Din Hamzah bin Yusuf al -
Humawi, Syarh Musykilat al-Wasith, serta Ibrahim bin Abdillah Abu al-Dam, Ta’liqah Mujizah ‘ala al-
Wasith, cet. I, Muhammad Muhammad Tamir (notasi) (ttp.: Dar al -Salam, 1997), jilid V, hlm. 83.
14 Syaikh al-Islam Abu Muhammad Muwaffiq al -Din ‘Abdullah bin Qudamah al -Maqdisi, al-Kafi fi Fiqh al-
Imam al-Mujabbal Ahmad bin Hanbal, Zuhair al-Syawisi (notasi), cet. V (Beirut: al -Maktab al-Islami, 1988),
jilid III, hlm. 30.
15 al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh…, jilid II, hlm. 772 dan 1025.
16 Para ulama menilai hadits-hadits tentang al-kafa’ah umumnya dla’if. Ibn Humam, seorang tokoh penting
Hanafiyah, misalnya mengakui tentang hal itu. Namun, dia buru -buru menambahkan bahwa meskipun dla’if,
karena ada berbagai jalur riwayat yang saling menguatkan, maka tingkatannya naik menjadi hasan. Dan oleh
karena itu, maka hadits tersebut bisa di jadikan sebagai hujjah. Lihat, Ibn Humam al-Hanafi, Syarh Fath al-
Qadir…, jilid III, hlm. 292.
17 Lihat hadits riwayat Ibn Majah dalam bab al-kafa’ah, I: 632 dan riwayat al-Turmudzi dalam bab idza
ja’akum man tardlauna dinahu fazawijuhu , III: 395, yang dinilai oleh al-Turmudzi sebagai hadits Hasan
Gharib, dikutip oleh ‘Abd al-Wahhab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala…, jilid II, hlm. 747.
18 Lihat dua hadits riwayat al -Bukhari dari ‘Aisyah dari jalur periwayatan yang berbeda dan dari Abu
Hurairah tentang al-kafa’ah di bidang keagamaan dalam Shahih al-Bukhari bi Syarh al-Kirmani (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.), hadits nomor 4768-4770, XIX: 70-72.
19 Lihat al-Dzahabi, al-Syari’ah al-Islamiyyah…, hlm. 130-131.
20 Hadits riwayat Muslim, lihat Abu al -Husain Muslim Ibn Hajjaj, al-Jami’ al-Shahih, Kitab al-Nikah, Bab
al-Muthallaqah tsalasan la nafaqah laha (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), III: 195 dan juga riwayat al -Turmudzi dari
Abu Bakr Ibn Abi Jahm, lihat Abu ‘Isa Muhammad Ibn ‘Isa al -Turmudzi, al-Jami’ al-Shahih wa Huwa
Sunan al-Turmudzi, M. Fuad Abd al-Baqi (notasi), Kitab al-Nikah, Bab Ma ja’a an la yakhtuba al-Rajulu
‘ala khitbati akhihi (37) (Mekkah: Maktabah Tijariyah Musthafa Ahmad al -Bazi, t.t.), hadits nomor 1135, III:
441-442.
21 Hadits ini dikutip oleh al-Kasani, Bada’i’ al-Shana’i’…, jilid II, hlm. 469, juga kutipan dari Ibn Sa’ad ,
Thabaqat, III: 169, oleh M.M. Bravmann, The Spiritual Background of Early Islam: Studies in Ancient Arab
Concepts (Leiden: Brill, 1972), hlm. 301-302.
22 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Muhammad Muhyi al-Din ‘Abd al-Hamid (notasi)
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Kitab al-Nikah, Bab Fi al-Akfa’, Hadits No. 2102, I: 233, menurut Abu Dawud,
hadits ini termasuk salah satu peristiwa yang melatarbelakangi turunnya surat al -Hujurat ayat 13, setelah
Bani Bayadlah berusaha menolak menikahkan salah satu puteri mereka dengan Abu Hindun, lihat Al -
Maraghi, Tafsir al-Maraghi, XXVI: 142.
23 Lihat Appendix I dalam buku Tahir Mahmood (editor), Human Rights in …, hlm. 157.
24 Lihat Hammudah Abd al-Ati, The Family Structure…, hlm. 86 dan Reuben Levy, The Social Structure of
Islam (Cambridge-New York: Cambridge University, 1965), hlm. 54.
25 Ada istilah khashshah dan ‘ammah dalam sistem stratifikasi sosial di Arab pra -Islam dan masih berlanjut
hingga masa awal Islam, lihat Bernard Lewis, The Middle East: A Brief Story on the Last 2000 Years , cet. I
(New York: Scribner, 1995), Chapter 10 The Elites, hlm. 179.
26 Bravmann, The Spiritual Background…, hlm. 302.
27 Farhat J. Ziadeh, “Equality ( al-Kafa’ah) in the Muslim Law of Marriage, Problem of Sources”, dalam The
American Journal of Comparative Law, No. 6, tahun 1957, hlm. 508-509.
28 Hammudah Abd al-Ati, The Family…, hlm. 86-87.
29 Uraian komprehensif yang menarik tentang Egalitarian di dalam Islam, lihat Louise Mar low, Hierarchy
and Egalitarianism in Islamic Thought (Masyarakat Egaliter Visi Islam), Nina Nurmila (penterjemah)
(Bandung: Mizan, 1997).
30 David Pearl, A Text Book on Muslim Personal Law, edisi II (London: Croom Helm, 1987), hlm. 55.
31 Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidlah, al-Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al -Tamimi al-Kufi
Faqih Ahl al-‘Iraq wa Imam Ashhab al-Ra’y, cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hlm. 12.
32 Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah…, hlm. 163.
33 Ziadeh, “Equality (kafa’ah) …, hlm. 506-507.
34 Y Linan de Bellefonds “Kafa’a” dalam The Encyclopaedia of Islam: New Edition , (Leiden: E.J. Brill,
1990), Vol. IV, hlm. 404.
35 Ziadeh, “Equality”… hlm. 507.
36 Syamsuddin al-Sarakhsyi, Kitab al-Mabsut (Lebanon: Dar al-Ma’rifah, 1989), jilid , hlm. 22-23.
37 Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala Durr al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t.t), jilid II,
hlm. 321.
38 Ziadeh, “Equality…”, hlm. 507.
39 Y Linan de Bellefonds “Kafa’a” dalam The Encyclopaedia of Islam…, vol. IV, hlm. 404.

Tidak ada komentar: