( wahana membuka cakrawala mahasiswa dalam merespon positif & Negatif Gender)
Oleh: Mukhlisuddin Mz[1]
Dalam Islam, masalah gender masih menjadi kontroversi. Di antara kaum muslim ada kelompok yang memandang tidak ada masalah gender dalam Islam. Mereka justru memberi label negatif pada hal-hal yang berhubungan dengan gerakan perempuan, buku-buku, artikel serta pendapat dalam seminar yang membahas tentang keadilan gender dalam Islam. Namun kelompok lain yang berseberangan mengatakan ada permasalahan gender dalam Islam, dan muncul sebagai gerakan yang mendukung hal tersebut. Wacana tersebut banyak dikembangkan pada level akademis maupun aksi sosial, mengingat ketidakadilan gender seringkali dijustifikasi oleh nilai-nilai keagamaan, sehingga untuk mengubahnya menjadi semakin riskan karena acap kali mereka yang meneriakkan kesetaraan tersebut dianggap telah melanggar nilai-nilai fitrah agama.
Salah satu misi Islam adalah pembebasan manusia dari berbagai bentuk anarki dan ketidakadilan. Islam sangat menekankan pada keadilan di semua aspek kehidupan. Keadilan ini tidak akan tercapai tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan. Hal ini ditegaskan dalam Alquran, bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk berjuang membebaskan golongan masyarakat lemah dan tertindas.
Perempuan, adalah juga termasuk makhluk yang tidak berdaya pada saat lahirnya Islam, baik di dunia Arab maupun di luarnya. Alquran lah yang pertama kali mendeklarasikan hak-hak perempuan. Untuk pertama kalinya individu perempuan sebagai makhluk hidup diterima tanpa persyaratan. Alquran menetapkan bahwa perempuan dapat melangsungkan pernikahan, dapat meminta cerai dari suaminya tanpa persyaratan yang diskriminatif, dapat mewarisi harta ayah, ibu dan saudaranya yang lain, dapat memiliki harta sendiri dengan hak penuh (tidak ada yang bisa merebutnya), dapat mengasuh anaknya (hingga anak dapat menentukan pilihan) dan dapat mengambil keputusan sendiri secara bebas.
Sehubungan dengan perspektif Islam tentang kesetaraan gender, Aquran menegaskan bahwa
(1) laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba,
(2) laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah,
(3) laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial, dan
(4) laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, karena masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya (QS. al-Nahl:97). Keduanya mempunyai potensi dan peluang untuk menjadi hamba ideal. Kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki seperti suami lebih tinggi diatas isteri, laki-laki pelindung perempuan, laki-laki memperoleh warisan lebih banyak dan diperkenankannya laki-laki berpoligami, tidak serta merta menyebabkan laki-laki menjadi hamba-hamba utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial “lebih” ketika ayat-ayat Alquran tersebut diturunkan.
Demikian pula dalam posisinya sebagai khalifah, Alquran tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas kekhalifahannya di bumi sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Allah (QS. al-An’am: 165).
Laki-laki dan perempuan pun sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan (QS. al-A’raf: 172). Dalam Alquran tidak ditemukan satu ayat pun yang menunjukkan keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu. kemandirian dan otonomi perempuan dalam tradisi Islam sejak awal begitu kuat.
Ketika Islam datang, kesetaraan gender sudah mulai dirasakan. Nabi Muhammad Saw lebih mengutamakan pertimbangan rasional dan profesional daripada pertimbangan emosional dan tradisional dalam menjalankan misi Islam. Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi sejajar. Islam datang mengubah budaya dan tradisi patriarkhi bangsa Arab dengan cara yang revolusioner. Bahkan Nabi Muhammad dikenal sebagai seorang “feminis” yang sangat menghargai dan mencintai perempuan. Nabi berusaha merombak budaya yang menyudutkan posisi perempuan dengan memerintahkan laki-laki untuk berlaku baik, adil dan bijaksana kepada kaum perempuan. Kehadiran Rasulullah sebagai seorang revolusioner membawa perubahan besar bagi kehidupan perempuan khususnya, dan bagi semua kehidupan pada umumnya. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai mahluk nomor dua (the second class) tetapi sama derajat dan eksistensinya dengan laki-laki. Hal ini terbukti dengan dekonstruksi yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap cara pandang bangsa Arab yang menganggap rendah kaum perempuan. Kepedulian dan pembelaan terhadap kaum perempuan terus dilakukan oleh Rasulullah. Ini terbukti dari teladan beliau: “Sebaik-baik kamu adalah yang berbuat baik terhadap istrinya dan aku adalah yang terbaik terhadap istriku”, dan beberapa hadis lain yang senada dengan itu.
Kaum perempuan di masa Rasulullah digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan terpelihara akhlaknya. Bahkan, dalam Alquran, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan. Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi Muhammad Saw ditemukan sederetan nama perempuan yang memiliki reputasi dan prestasi cemerlang sebagaimana diraih kaum laki-laki. Dalam jaminan Alquran, perempuan dengan leluasa memasuki semua sektor kehidupan di masyarakat, termasuk politik, ekonomi, dan berbagai sektor publik lainnya.
Dalam Islam, dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan potensi untuk mencapai stratifikasi tertinggi di hadapan Tuhan. Kitab suci Alquran secara tegas menyatakan bahwa kemuliaan ditentukan oleh tingkat ketakwaan kepada Allah, bukan perbedaan jenis kelamin atau suku bangsa (QS. al-Hujurat: 13). Tuhan juga memberi penghargaan yang sama antara karya positif laki-laki dan karya positif yang dihasilkan perempuan, dengan harga yang sama (QS. al-Ahzab: 35).
Pada akhirnya, untuk mewujudkan relasi gender yang berkeadilan, sedapat mungkin dihilangkan kesenjangan hubungan dan pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai ruang kehidupan, tentunya dengan memperhatikan kodratnya. Ketidakadilan gender merupakan hal yang harus dikikis habis, agar perempuan dan laki-laki dapat berdiri pada posisi setara, sehingga tidak ada keunggulan apriori yang satu terhadap yang lain.
Wallah a’lam bi al-shawab.
[1] penulis adalah ketua BEM STAI Al-Aziziyah samalanga periode 2007-2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar