Rabu, 21 Mei 2008

BUNUH DIRI DAN EUTHANASIA

Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang amat sempurna bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain yang pernah diciptakan Allah SWT, bahkan Ia mengakui kelebihan manusia ini lewat Firmannya di dalam Surah At-Tin yang bunyinya :
لقد خلقنا الانسان فى أحسن تقويم........
Artinya : Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat sempurna.
Kesempurnaan manusia adalah dengan dikarunianya akal sehat agar ia senantiasa berfikir yang baik untuk dirinya, jangan sampai ia cendrung melakukan yang merugikan dan dilarang dalam agama, islam adalah agama yang hak, ia mengatur segala lini dan sektor kehidupan manusia dengan berbagai konsep hukum dan nilai sosial, konsep ini di doktrin kepada manusia untuk mengamalkannya agar ia terlepas dan juga mendapatkan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam islam ada pembagian hukum menurut katagorinya masing-masing, ada yang namanya hukum ibadah, muamalah, munakahah dan juga jinayah. Semua ini adalah konsep hidup manusia yang telah disusun dengan lengkap dan sesuai dengan kodrat manusia, tinggal lagi kita mengamalkannya.
Kehidupan dunia penuh dengan peristiwa yang senantiasa hadir menghiasi kehidupan kita, berbagai masalah timbul dan beraneka ragam pula bentuknya, terkadang kesanya manis dan enak dinikmati, tetapi juga ada yang tidak menyenangkan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita pernah menjumpai kasus tentang bunuh diri dan euthanasia, kedua persoalan ini merupakan suatu biasa terjadi mulai dari dulu sampai sekarang kita bisa membaca di media mendengar berita bahkan juga menyaksikan langsung adanya orang yang melakukan bunuh diri.
Biasanya hal ini terjadi karena seseorang tertekan mentalnya karena takut atau frustasi terhadap sesuatu hal yang menimpa dirinya, sehingga karena tidak dapat ditampung oleh perasaan dan juga akibat kekurangan atau tipis imannya di dada maka ia berkesimpulan untuk bunuh diri agar terlepas dari berbagai permasalahan yang ia dera selama ini.
Sedangkan euthanasia juga suatu hal yang dilakukan karena adanya desakan yang kuat untuk melakukannya, karena perasaan prihatin dan sayang terhadap seseorang pasien yang sudah sangat parah sakitnya dan kecil harapan untuk sembuh. Euthanasia adalah melakukan pembunuhan secara medis terhadap orang yang sudah sangat sekarat dengan penyakitnya.
Pada dasarnya semua ini adalah cobaan dari-Nya yang harus di terima dan kita harus tawakkal menghadapinya. Kedua hal perlu dikaji secara mendalam agar mendapat suatu kesimpulan terhadap hukumnya. Persoalan membunuh jiwa tanpa ada alasan pada dasarnya adalah haram, bahkan suatu dosa besar sebagaimana Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya bersabda :

عن ابى هريرة رضي الله عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : إجتنبوا السبع الحوبقات قالو يا رسول لله وما هن ؟ قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التى حرم الله الا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم . والتوالى يوم الزحف وقذف المحصنات الموْمنات العافلات.(رواه البخارى)
Artinya: Dari Abi Hurairah r.a dari Nabi SAW ia berkata : jauhi oleh mu tujuh dausa besar. Sahabat bertanya, ya Rasulullah apakah itu?. Rasulullah berkata menyekutukan Allah dan sihir dan membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali karena ada hak dan memakan riba dan memakan harta yatim dan tawalli yauma zahfi dan menuduh orang yang bersih lagi mukmin lagi terpelihara. (HR. Bukhari)[1]
Dari hadist di atas jelas sekali mengatakan bahwa membunuh jiwa tanpa hak adalah suatu yang haram dan tergolong kedalam dosa besar. Namun bila ada sebabnya seperti karena ia membunuh orang lain maka ia akan dibunuh pula sebagai qisas atas pembunuhannya. Adapun permasalahan bunuh diri dan euthanasia ini ada pembahasannya dalam konsep fiqh jinayah, kita bisa merujuk kesana untuk melihat berbagai bentuk permasalahan dan juga konsekwensinya masing-masing.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan bunuh diri dan euthanasia ini dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengertian bunuh diri dan euthanasia ?
2. Apakah landasan hukum bagi bunuh diri dan euthanasia ?
3. Dimanakah perbedaan bunuh diri dan euthanasia ?
4. Bagaimanakah hukum bagi orang yang melakukan bunuh diri dan euthanasia ?

Tujuan Pembahasan
Merujuk dari beberapa rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan pembahasan permasalahan bunuh diri dan euthanasia adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengertian dari bunuh diri dan euthanasia.
2. Untuk mengetahui perbedaan antara bunuh diri dengan euthanasia.
3. Untuk mengetahui hukum bagi orang yang melakukan bunuh diri dan euthanasia





Sistematika Pembahasan
Dengan melihat uraian di atas, maka penulis akan mendeskripsikan sistematika pembahasan bagi masalah ini adalah sebagai berikut :
Bab satu : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan pembahasan serta sistematika pembahasan.
Bab dua : Pengertian, perbedaan antara bunuh diri dengan euthanasia dan hukum terhadap orang yang melakukan bunuh diri dan euthanasia
Bab tiga : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.















BAB DUA
BUNUH DIRI DAN EUTHANASIA

A. Pengertian Bunuh Diri Dan Euthanasia
Bunuh diri adalah melakukan suatu tindakan meghilangkan nyawa. Dan bila hal ini dilakukan seseorang terhadap dirinya, ia melakukan hal-hal yang pada kebiasaannya bisa mematikan, seperti melakukan gantung diri dengan mengikat tali di leher, atau menusuk tubuhnya dengan benda yang tajam. Sehingga dengan melakukan hal tersebut ia bisa mati. Bunuh diri ini bisa saja terjadi karena desakan dari dalam dirinya karena tertekan mental yang tidak dapat ditanggung lagi oleh pikirannya sehingga ia frustasi dan putus asa (harapan), atau dengan adanya paksaan dari pihak yang lain.
Sedangkan euthanasia ialah tindakan memudahakan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Yang dimaksud taisir al-mautal-fa’al (euthanasia positif) ialah memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilaikukan oleh dokter dengan mempergunakan instrument (alat), beberapa contoh di antaranya :
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan sakitnya, tetapi juga menghentikan pernafasannya sekaligus.
2. Orang yang mengalami koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya yang mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya dapat hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernafasan itulah yang memompa udara kedalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernafas secara otomatis. Jika alat pernafasan itu dihentikan, si penderita tidak mungkin melanjutkan pernafasannya. Maka-maka satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit ituhidup dengan dengan mempergunakan alat pernafasan buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai orang mati yang tidak dapat melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernafasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal ini berbeda dengan euthanasia negative (taisir al-maut al-munfa’il), pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengkhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sedang dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya yang tidak ada harapan untuk sembuh atau terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati padahal masih ada kemungkinan untuk di obati akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.[2]

B. Perbedaan Bunuh Diri Dan Euthansia
Dari pengertian dan penjelasan di atas sangat jelas perbedaan di antara bunuh diri dan euthanasia. Di mana bunuh diri adalah suatu tindakan mematikan yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya, baik secara sengaja maupun tidak, dan bunuh diri ini dilakukan seseorang karena adanya tekanan mental yang tidak sanggup ia tahan sehingga ia putus asa dan berkesimpulan untuk membunuh dirinya sebagai solusi untuk keluar dari berbagai permasalahn tersebut dan pada bunuh diri seseorang bersifat aktif.
Sedangkan euthanasia adalah istilah dalam ilmu kedokteran, ia suatu tindakan untuk mematikan seseorang yang didera sakit yang sangat berat dan menimbulkan sakit yang teramat sangat dan kecil kemungkinan untuk sembuh, maka dokter mengambil tindakan medis dengan melakukan berbagai tindakan yang dapat mempercepat kematiannya. Dan pada euthanasia seseorang itu sifatnya pasif dan dokterlah yang melakukannya.





C. Hukum Bunuh Diri Dan Euthanasia
Mengenai hukum bagi bunuh diri dan euthanasia adalah :
1. Bunuh diri
Bunuh diri tentu saja dilarang oleh syara’, karena manusia tidak boleh meminta atau menyegerakan kematiannya. Dan seseorang tidak boleh mengharapkan kematiannya. Nabi saw telah mensinyalir hal ini melalui sabdanya. Dari Anas r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
لايتمنين احدكم الموت لضر نزل به , فانما محسنا فعسى ان يزدد , فإما مسياْ فعسى ان يتوب(رواه البخارى والمسلم وغيرهما عن أنس)
Artinya : Janganlah sekali-kali seorang di antara kamu mengharapkan kematian karena tertimpa mudharat, karena jika ia orang yang baik, maka mudah-mudahan kebaikannya bertambah, dan jika ia orang berdausa mudah-mudahan ia bertobat. (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya)
Maksudnya manusia tidak layak mengharapkan mati, apalagi menyegerkan kematiannya dengan melakukan bunuh diri, sebab ketentuan itu bukanlah kita yang menetapkanya tetapi Allah swt. maka umur yang telah diberikan adalah untuk bertobat kepadanya agar lahir perubahan kepada yang lebih baik, bukannya menyesali nasib dan lantas bunuh diri.
Di dalam hadist yang lain disebutkan bahwa Nabi saw pernah bersabda yang pengertiannya adalah “ dan jika terpaksa, maka hendaklah ia mengucapkan “Ya Allah hidupkanlah aku jika Engkau ketahui bahwa hidup iti lebih baik bagiku, dan matikanlah aku jika mati itu lebih baik bagiku” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i).
Kita harus menyerahkan urusan hanyalah kepada Allah, bukan ia yang memilih untuk dirinya, maka panjang usia merupakan suatu kebaikan baginya, bahkan dalam hadist yang lain Nabi bersabda yang maksudnya “ sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya”. [3]Maka dari uraian di atas kita menyimpulkan bahwa hukum bunuh diri adalah haram karena dilarang syara’ untuk melakukanya.
2. Euthanasia
Euthanasia sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia aktif) seperti contoh pada nomor satu di atas tidak diperkenankan syara’. Sebab demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara yang telah tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu tidak lepas dari katagori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari Dzat yang menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajalnya yang telah ditetapkan.
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (euthanasia negative) sebagaimana yang dikemukan dalam pertanyaan, maka semua itu berkisar pada menghentikan obat atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal dari para ulama bahwa berobat adalah suatu yang mubah, dan sebahagian ulama berpendapat sunat. Dan sebahagian ulama juga berbeda pendapat di antara mana yang lebih utama diantara berobat dan bersabar. Sebahagian mereka berpendapat bahwa bersabar dan tidak berobat itu lebih utama. Di samping juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan ada di antara mereka yang memilih sakit, seperti Ubai bin Kaab dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma, namun tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu. Maka memudahkan proses kematian kalau boleh diistilahkan demikian semacam ini seyogianya tidak diembel-embeli dengan istilah membunuh karena kasih sayang, karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara’ bila keluarga penderita mengizinkan melakukanya untuk meringankan si sakit dan kelurganya. Insya Allah.[4]



















BAB TIGA
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Bunuh diri adalah suatu tindakan mematikan dari seseorang terhadap dirinya, sedangkan euthanasia adalah tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien yang berpenyakit parah dan menyengserakan.
2. Bunuh diri dan euthanasia adalah berbeda karena bunuh diri dilakukan oleh pribadi seseorang, sedangkan euthanasia orang lain yang melakukan terhadap seseorang.
3. Hukum bunuh diri adalah haram karena syara’ melarangnya, dan euthanasia juga haram bila seorang dokter itu bersifat aktif dengan memberikan obat yang overdosis terhadap orang sakit dengan maksud agar mempercepat matinya, namun bila dokter bersifat pasif dengan tidak mengobati seorang pasien yang sekarat, supaya ia cepat meninggal dunia, maka hukumnya adalah jaiz.

B. Saran-Saran
1. Untuk memperdalam pembahasan masalah ini penulis menyarankan agar ada yang mengkajinya dan membahas lebih detail lagi.


DAFTAR PUSTAKA
- Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid I dan II
- Muhammad Fuad Abdul, Al-lu'lu' wal Marjan
- Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
- Dll


[1] Muhammad Fuad Abdul, al-lu’lu’ wa lmarjan, Juz I, hlm. 80.
[2] Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid II, 1995, Jakarta : Gema Insani Press, hlm 749-750.
[3] Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid I, 1995, Jakarta : Gema Insani Press, hlm 887-888.

[4] Loc. Cit, hlm. 751-753.

Tidak ada komentar: