Rabu, 12 Mei 2010

Cari Sensasi, Jangan Latah (Menaggapi Jarjani Usman, Mukhlisuddin Ilyas & Amelia Agustina)






Berbicara masalah
"Teungku Dayah" pada dasarnya adalah berbicarasalah satu komunitas
yang ada di Aceh, ”Teungku Dayah” dari segi Bahasa merupakan orang yang
memiliki Ilmu (Ilmu Agama). Panggilan Teungku diberikan untuk orang-orang yang
memiliki pengatahuan Agama, Berakhlak mulia dan pada waktu tertentu pergi ”meudagang
(menuntut Ilmu) di salah satu Dayah (lembaga pendidikan Islam tradisional) yang
biasanya jauh dari kampung halaman. Namun yang paling penting adalah adanya
pengakuan dari masyarakat terhadap gelaran dimaksud. Jadi pemakaian term Teungku
Dayah pada umumnya identik dengan pemimpin Dayah, meskipun sebagian orang
menyederhanakan dengan istilah "Aceh Teungku, Melayu Abang, Cina Toke,
Kafhe Tuan) seperti yang termaktub dalam "kisah tengku mafia"
(Serambi, 5 Mei 2010).


Dayah dikategorikan
sebagai pesantren yang memiliki ciri sebagai lembaga pendidikan traditional.
Nilai keagamaan seperti Ukhwah (persaudaraan), Ta’awun (tolong menolong),
Ittihat (persatuan), Thalabul Ilmi (menuntut ilmu), Ikhlas, Jihad (berjuang),
Tha’at (patuh) kepada Allah, Rasul, serta Ulama sebagai pewaris para Nabi dan
berbagai nilai-nilai yang secara eksplisit tertulis sebagai ajaran Islam yang
ikut mendukung eksistensi Dayah. Walaupun saat ini telah banyak Dayah yang
dikategorikan modern di Aceh, namun Dayah masih cukup eksis dalam era
globalisasi sekarang ini. Hal ini tidak terlepas dari prinsip kemandirian dan
kesederhanan yang menjadi ruh kehidupan dayah di Aceh. Dalam kenyataannya
perkembangan Dayah secara kualitatif tidak menurun bahkan memperlihatkan gejala
naik yang ditandai oleh timbulnya pesantren/ Dayah-dayah baru dalam kehidupan
masyarakat.


Dayah yang
berkembang pada masyarakat Aceh secara total memperlihatkan dirinya sebagai
sebuah barometer yang mewarnai kehidupan kelompok masyarakat luas. Dayah
merupakan lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan dan menyebarkan
Ilmu agama Islam. Struktur pendidikan dayah juga menunjukkan strata tertentu di
mana kurikulum sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh Teugku chik
(pimpinan dayah). Pendidikan dasar dayah dimulai dengan materi kitab arab
mulayu yang dikenal dengan meunasah. Kemudian yang kedua memahami kitab arab
gundul dikenal dengan kelas Rangkang. Dan yang terakhir adalah kelas
kitab-kitab nahwu, sharaf atau dikenal dengan dengan kitab kuning. Bagi santri
yang belajar kitab tersebut di Bale, harus mempunyai kemampuan yang tinggi
karena semua ilmu yang diajarkan di Bale memiliki sifat saling
berkesinambungan. Kriteria santri tidak hanya dilihat dayah, kedewasaan ilmu,
namun juga kemampuan. Jadi tidak heran dalam kelas terakhir ini para santri
dengan umur beraneka ragam serta kelas inilah yang langsung dibimbing oleh
teungku Chik. Sehingga merekalah yang bakal jadi Teungku- teungku/ guru bantu.


Peranan Teungku
dayah tidak hanya dalam lini keagamaan masyarakat saja, bahkan dalam hubungan
kemasyarakatan, Teungku dayah juga turut mengambil peran, hingga saat ini
masyarakat Aceh masih memberikan legalitas "Percaya" terhadap
putusan/amaran Teungku dayah. Bahkan sebagian masyarakat dalam melakukan Khanduri
Blang, Turun Sawah, Walimatul Ursy
dan lainnya, Masyarakat Aceh umumnya selalu
menanyakan kapan waktu yang paling tepat untuk dilaksanakan acara tersebut. Hal
demikian telah mengakar dalam masyarakat kita bukan hanya pada zaman Tempoe
Doeloe, bahkan hingga sekarang ini masyarakat Aceh masih sangat percaya
terhadap Teungku. Ini tentu sebagai salah satu takaran bahwa masyarakat masih
percaya tentang keilmuan Teungku dayah.


Dalam beberapa hari
ini  "Teungku Dayah" mulai
terasa terusik dengan ulah sebagaian pihak yang mengelupas Teungku dayah dengan
label yang sangat menyakitkan seperti Teungku Mafia dan lainnya, padahal label-label
semacam itu tlah menjadi suatau masa lalu, yang pelakunya sudah insaf ternyata
Dayah tidak seperti mereka  pikirkan.
Pada era beberapa tahun yang lalu Teungku dayah diteror dengan label yang
menyakitkan oleh sebagian pihak, melabelkan  Teungku sebagai "Qullatain",
"Pungo Nahu", "Jak Peabeh Umu",
dan lain sebagainya
tapi Teungku dayah tidak terbekas dengan label tersebut, tapi hal tersebut lama
kelamaan menjadi hal pudar sendiri, seiring juga dengan insaf pelaku yang salah
mengalamatkan label tersebut.


Sekarang ini, entah
karena komunitas ini sering diam dikala terror datang atau sebagian orang
menganggap orang Dayah tidak berani perang opini dengan "Ureng
Sikula", ataupun mereka ingin membakar damai antara Teungku dayah dengan
"ureng sikula?, yang pasti saya juga kurang tahu, tapi yang jelas
bahwa  Teungku Dayah bukanlah mafia, dan
tidak perlu mengisahkan seperti itu


Mafia juga dirujuk
sebagai La Cosa Nostra (bahasa Italia:
Hal Kami), adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilia
dan Amerika Serikat. Mafia awalnya merupakan nama
sebuah konfederasi
yang orang-orang di Sisilia masuki pada Abad
Pertengahan
untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum sendiri (main hakim).
Konfederasi ini kemudian mulai melakukan kejahatan terorganisir. Mafia melebarkan
sayap ke Amerika Serikat melalui imigrasi
pada abad ke-20.
Kekuatan Mafia mencapai puncaknya di AS pada pertengahan abad ke-20, hingga
rentetan penyelidikan FBI
pada tahun 1970-an
dan 1980-an
agak mengurangi pengaruh mereka. Meski kejatuhannya tersebut, Mafia dan
reputasinya telah tertanam di budaya populer Amerika, difilmkan di televisi
dan bahkan iklan-iklan.
Istilah "mafia" kini telah melebar hingga dapat merujuk kepada
kelompok besar apapun yang melakukan kejahatan terorganisir (bandingkan dengan Mafia Rusia dan Yakuza di Jepang). Itulah
merupakan gambaran pengertian mafia yang coba penulis nukilkan dari wikipedia,
tentunya mafia merupakan sebutan terhadap pelaku kejahatan (bandingkan dengan Mafia Rusia dan Yakuza di Jepang), apakah
Teungku Dayah sekarang sekejam itu ???. Tentu "tidak !", karena Teungku
dayah senantiasa memeberikan petunjuk kepada Ummat.


Kemudian, jika
memang Teungku dayah Bukan Mafia, kenapa harus ada yang latah menulis Teungku
sebagai mafia, Menurut hemat saya ini adalah sebagai ajang membangkit dendam
lama antara mereka dengan komunitas Dayah Atau tulisan itu hanya ingin mencari
sensasi belaka, karena penulis merasakan bahwa "Al-Khalif Tu'Raf".
Mungkin saja mereka yeng melabelkan Teungku sebagai mafia ingin menjadi
terkenal, bukankah Hingga sekarang kita masih mengenal Abu Lahab, Abu Jahal,
Dan lainnya dan semua itu menjadikan mereka sebagai catatan sejarah adalah
karena mereka melakukan yang berbeda,mungkin juga yang melabelkan Teungku dayah
sebagai mafia ingin mencari sensasi seperti ini,,tapi sangat disayangkan,,,,,


Semoga Jangan
Mencari sensasi dengan sifat Latah……….


Wallahu 'Alam,,,

1 komentar:

zainuddin fakhruddin al akbar mengatakan...

saya salut dengan pemikiran tengku, yang bahawa tengku itu tidak identik dengan tradisional, kuper, out of date.
hehheeh
mudah-mudahan dapat membuka wawasan umat islam yang lain dari ide tgk terutama yang anti dayah salafi dan para sekuler lain yang ingin menggulingkan dayah di Aceh
aminnn
semoga bermanfaat.
syukran jazilan