Minggu, 07 November 2010

KENAPA KITA HARUS BERMAZHAB DAN TAQLID PADA ULAMA

KENAPA KITA
HARUS BERMADZAB DAN TAQLID PADA ULAMA?



Sumber :


http://ummatiummati.wordpress.com/2010/05/18/fakta-konyol-orang-orang-yang-mengaku-tidak-bermazhab/


Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk
pergi. Berasal dari kata zahaba – yazhabu – zihaaban . Mahzab adalah isim makan
dan isim zaman dari akar kata tersebut
.Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah
metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah
Nabawiyah
. Mazhab yang
kita maksudkan di sini adalah mazhab fiqih
. Adapula yang
memberikan pengertian mazhab fiqih adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang
dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain,
yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’.


Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits
adh-Dha’ifah serta orang-orang yang sefaham dengannya melontarkan kritik kepada
orang-orang yang bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram
.
Mereka juga mengkategorikan pemikiran
madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan madzhab-madzhab lain yang
berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan ta’addud asy-syari’ah
(syariat yang berbilangan) yang terlarang dalam agama
. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah ketika membahas
hadits Ikhtilaf Ummah. )


Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa
madzhab empat adalah bid’ah yang di munculkan dalam agama dan hasil pemikiran
madzhab bukan termasuk dari bagian agama
. Bahkan ada juga yang
mengatakan dengan lebih ekstrim bahwa kitab para imam-imam (kitab salaf) adalah
kitab yang menjadi tembok penghalang kuat untuk memahami al-Qur’an maupun
Sunnah dan menjadikan penyebab mundur dan bodohnya umat.


Namun yang aneh dan lucu, justru mereka kerap kali
mengutip pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin Abdis
Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu
Hazm, Syah Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al-Haitami,
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu
Khuzaimah, as-Suyuthi, al-Khathib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim, Ibnu Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain
. Padahal diri
mereka berkeyakinan bahwa ulama-ulama di atas adalah orang yang salah memilih
jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya.


Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani
dengan ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia
mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga akan masuk neraka karena
melakukan dosa bertaqlid
? Apakah
ulama-ulama di atas juga bodoh tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah menurut
mereka? Sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan
direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik
yang berlebihan.


Jika di amati dengan seksama, orang-orang yang
menolak taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari
Shahih al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih
karena telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu al-Bukhari
dan Muslim.
Bukankah hal
tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang hadits? Bukankah juga,
al-Bukhari adalah salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafi’i)? Kenapa
mereka ingkar sebagian dan percaya sebagian? Lalu ketika mereka mengikuti
pemikiran Nashiruddin al-Albani, al-Utsaimin, Ibnu baz dan lain-lain dengan
sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa?


Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa orang
Islam harus berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah
tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun.
Pemahaman seperti
ini muncul akibat dari kebodohan mereka memahami dalil al-Qur’an dan Sunnah
serta lupa dengan sejarah Islam terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga tidak
pernah berfikir bahwa mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan
menghancurkan agama dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk
memahami hukum dengan ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi
kriteria mujtahid).


Yang
sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia, banyak orang yang membaca
dan mengetahui isi al-Qur’an dan Hadits hanya dari terjemah-terjemah, lalu
mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama (mujtahid) dan ulama-ulama
salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka semua sesat dan ahli neraka.
Bukankan hal itu malah akan menjadi
lelucon yang tidak lucu?
Lagi-lagi
bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka.


Sedangakan
menurut ulama,
seseorang dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari
teks al-Qur’an maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi kriteria berikut:
handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan
kata musytarak (sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah
huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata
tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al-Qur’an, asbab nuzul
(latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh
al-Qur’an yang dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus,
muthlak dan muqayyad, fahwa al-Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah
serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di
bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat,
tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka
kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.


Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang
ijtihad telah tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai
hari kiyamat
. Namun secara
realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu masuk derajat mujtahid seperti
asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain.
Adakah doktor-doktor syari’at zaman sekarang yang
dapat disejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi,
Ibnu Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di sejajar dengan mereka,
lalu kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad?


ketetapan
wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar:


1.
Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43:




فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا
تَعْلَمُونَ



“Bertanyalah
kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak
mengetahui.”


Dan
sudah menjadi ijma’ ulama
bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan
dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul
fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang
kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali
hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.


senada dengan ayat
diatas didalam Qur`an surat At-Taubah ayat 122;




فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ

لِيَتَفَقَّهُوا فِي
الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ
لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122
)



Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.( 122)





2.
Ijma’


Maksudnya,
sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat
Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semua adalah
ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata
bahwa agama diambil dari semua sahabat, tapi mereka ada yang memiliki kapasitas
ijtihad dan itu relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah semua
sahabat. Di antaranya juga ada mustafti atau muqallid (sahabat yang tidak
mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat golongan ini jumlahnya
sangat banyak.


Setiap shahabat yang
ahli ijtihad seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud,
‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar dan lain-lain saat memberi fatwa
pasti menyampaikan dalil fatwanya.





3.
Dalil akal


Orang
yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya
hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari
dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.


Jika memilih yang awal,
maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk
mencari, berfikir dan berijtihad dengan
dalil
yang ada untuk menjawab masalahnya dan mempelajari
perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan
profesi ma’isyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak. Maka
tidak salah kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu kitabnya dengan “Tidak
bermadzhab adalah bid’ah yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan agama”.


Dan
pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid. (Allamadzhabiyah hlm.
70-73, Takhrij Ahadits al-Luma’ hlm. 348. ) Kesimpulannya dalam hal taqlid ini
adalah:


1. Wajib bagi orang yang tidak mampu
ber-istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits.

2. Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai
sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau
syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin
Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.


Lalu
menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada
mereka adalah sebagaimana yang diterangkan ulama-ulama, bahwa larangan tersebut
ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad dari Al-Qur’an dan Hadits,
dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak
tersesat dalam menjalankan agama. (Al-Mizan al-Kubra 1/62. )


Begitu
juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-Ahkam yang mengharamkan taqlid, karena
haram yang dimaksudkan menurut beliau adalah untuk orang yang ahli ijtihad
sebagaimana disampaikan al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah
Allah al-Balighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang menukil pendapat
Ibnu Hazm tentang keharaman taqlid. ( Al-la Madzhabiyyah hlm. 133 dan ‘Iqdul
Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hlm. 22. )


Dalam
keyakinan orang-orang yang bermadzhab, antara taqlid dan ittiba’ (mengikuti
pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa atau istilah
yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang yang anti taqlid, meyakini
adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga jika mereka mengikuti
pendapat ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin
al-Albani dan lain-lain maka menurut mereka, itu adalah bagian dari ittiba’ dan
bukan taqlid. Karena menurut pehaman mereka, taqlid adalah mengikuti imam
madzhab yang akan selalu diikuti, meski imam madzhab tersebut salah atau bisa
di sebut taqlid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah demikian. Sebuah statemen
dangkal dan tidak berdasar sama sekali.


Mengenai
masalah perbedaan dua kata diatas, pernah terjadi dialog antara Dr. Muhammad
Said Ramadhan al-Buthi dengan seseorang tamu yang datang kepada belaiau. Tamu
tersebut berkeyakinan seperti di atas bahwa ada perbedaan antara taqlid dan
ittiba’. Kemudian Dr. al-Buthi menantang tamu tersebut untuk membuktikan apa
perbedaan antara dua kata tersebut, apakah secara bahasa atau ishtilah dengan
di persilahkan mengambil referensi dari kitab lughat ata kamus bahasa Arab.
Namun, tamu tersebut tidak mampu membuktikan pernyataannya tersebut.


Sama
seperti apa yang dilakukan oleh Dr.
Al-Buthi
, kami juga
menantang orang-orang yang mengharamkan taqlid lalu mereka juga mengambil
pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain dalam
tulisan dan pidato-pidato mereka, apakah hal itu termasuk taqlid atau ittiba’?

Jika mereka mengatakan bukan taqlid,
maka klaim tersebut perlu di buktikan secara ilmiyyah bukan asal bicara untuk
membodohi umat.


Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyyah, sebuah
karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti-madzhab dengan
argumen-arguman yang kuat.
Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan yang terjadi antara
Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.










1 komentar:

zamri mengatakan...

assalamualaikum,saudara yang budiman,
tolong berikan kepada saya beberapa karya selain al-la Mazhabiyyah karangan Syekh Said ramadhan Bhuti