Jumat, 21 Oktober 2011

Ijtihat; Urgensi & Fungsinya


A.  PENDAHULUAN
Hukum Islam menghadapi tantangan lebih kompleks, terutama pada abad kemajuan pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai masalah baru yang berhubungan dengan hukum Islam, para ahlinya sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fikih, hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya, karena di sana sini mungkin terdapat pendapat-pendapat yang tidak atau kurang relevan dengan abad kemajuan ini. Oleh karena itu, ummat Islam perlu mengadakan penyegaran kembali terhadap warisan fikih, dalam konteks ini, pemakalah akan mengetengahkan topik yang cukup menarik “Ijtihad: Fungsi dan Urgensinya”.
Pembahasan  topik ini sangat signifikan untuk di diskusikan, dan yang paling penting lagi agar mampu menemukan rumusan-rumusan baru fikih dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah-masalah sekarang yang belum ada jawabannya dalam kitab-kitab fikih masa silam. Di sinilah ijtihad menjadi sebuah kemestian dan metode ijtihad mutlak harus di kuasai oleh mereka yang akan melakukannya. Metode ijtihad itulah yang di kenal dengan Usul Fikih.

Hal-hal yang akan di bahas pada makalah ini diantaranya : Pengertian Ijtihad, Landasan Ijtihad, Urgensi Ijtihad, Nilai Ijtihad, Syarat-syarat Ijtihad, Medan (lapangan Ijtihad, Ijtihad di masa sahabat. Dari penyajian seperti diatas, makalah ini diharapkan, di samping dapat memberikan informasi tentang berbagai macam konsep Usul Fikih juga dapat mempermudah kita untuk menentukan pilihan pendapat mana di antara berbagai pendapat yang tepat saat ini.


B. Pengertian Ijtihad.
a.  Ijtihad Menurut secara bahasa (Etimologi).
Ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab. “Jahada   ﺠﻬﺩ.[1] Bentuk kata mashdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya:
  1. Jahdun  (  ﺠﻬﺩ ) dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Kalimat ini dapat di temukan dalam al-Qur’an surah Al-An’am, Ayat 109.
#qßJ|¡ø%r&ur «!$$Î/ yôgy_ öNÍkÈ]»yJ÷ƒr& ûÈõs9 öNåkøEuä!%y` ×ptƒ#uä ¨ûäöÏB÷s㊩9 $pkÍ5 4 ö@è% $yJ¯RÎ) àM»tƒFy$# yZÏã «!$# ( $tBur öNä.ãÏèô±ç !$yg¯Rr& #sŒÎ) ôNuä!%y` Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÊÉÒÈ
Artinya:  Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mu jizat, Pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu Hanya berada di sisi Allah". dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman
2.      Juhdan ( ﺠﻬﺩﺍ ) denagn arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah, contohnya firman Allah SWT dalam surah at-Taubah ayat 79
šúïÏ%©!$#ur Ÿw tbrßÅgs žwÎ) óOèdyôgã_ tbrãyó¡tsù öNåk÷]ÏB   tÏy ª!$# öNåk÷]ÏB öNçlm;ur ë>#xtã îLìÏ9r&
Artinya: Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar kemampuannya maka orang yang munafik itu menghina mereka.
Pengertian secara lughowi dan istilah akan terlihat serasi bila di hubungkan, karena ijtihad tersebut mengandung arti kesanggupan dan kemampuan maksimal.
b. Ijtihad Menurut istilah
Para ulama telah mendefinisikan “Ijtihad” dalam rumusan yang berbeda akan tetapi satu sama lainnya terlihat saling menguatkan dan menyempurnakan.
1.       Imam Abi Ishaq Ibrahim dalam kitabnya Al-Luma’ fi Ushuli al-Fiqh memberikan definisi :
ﺍﺴﺘﻔﺭﺍﻉ ﺍﻠﻭﺴﻊ ﻭﺒﺫﻝ ﺍﻠﻤﺠﻬﻭﺩ ﻓﻰ ﻁﻠﺏﺍﻠﺤﻜﻡﺍﻠﺸﺭﻋﻲ
Pengerahan kemamapuan dan menggerakkan kesanggupan untuk memperoleh hukum syara’[2]
Dalam definisi ini digunakan kata Istifroghu al-wus’i dan bazlu al-wus’i, hal ini dapat dipahami bahwa berijtihad merupakan kerja keras yang memerlukan pengarahan kemampuan. Oleh karenanya apabila usaha itu dilakukan tidak serius dan tidak tidap sepenuh hati. Oleh karenanya apabila usaha itu dilakukan tidak serius dan tidak sepenuh hati, maka tidak dapat dikatakan ijtihad. Penggunaan kata Syar’i mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam usaha ijtihad ada hukum Syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia. Sebagai fasal (kata pemisah dalam definisi itu, kata Syar’i ini mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha menemukan sesuatu yang bersifat aqli, lughowi dan hissi. Pengarahan kemampuan untuk menemukan yang demikian itu tidak disebut ijtihad.
2.      Imam Al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli memberikan defenisi.
ﺒﺫﻝﺍﻠﻭﺴﻊ ﻓﻰ ﻨﻴﻝ ﺤﻜﻡ ﺸﺭﻋﻰﻋﻤﻠﻰ ﺒﻁﺭﻴﻕﺍﻻﺴﺘﻨﺒﺎﻁ
Artinya: menggerakkan kemampuan dalam memperoleh hukum Syara’ yang bersifat amali melalui  cara istimbat.[3]
Selanjutnya dalam definisi itu, disebutkan cara menemukan hukum Syar’i yaitu melalui istimbat yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dari dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah usaha memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut. Sebagai fasal (kata pemisah dalam defenisi, kata ini mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha mengeluarkan hukum dari nash yang memang secara jelas telah menunjuk kepada hukum tersebut.
3.      Saifuddin Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam menyempurnakan dua defenisi sebelumnya.
ﺍﺴﺘﻔﺭﺍﻍ ﺍﻠﻭﺴﻊ ﻓﻰ ﻁﻠﺏ ﺍﻠﻅﻥ ﺒﺸﺊ ﻤﻥ ﺍﻻﺤﻜﺎﻡ ﺍﻠﺸﺭﻋﻴﺔ ﺒﺤﻴﺙ ﻴﺤﺴﻰ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﻔﺴﻰ ﺍﻠﻌﺠﺯﻋﻥ ﺍﻠﻤﺯﻴﺩ ﻓﻴﻪ

Penambahan fasal dalam defenisi Al-Amidi tersebut mengandung arti bahwa penarahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal. Dengan demikian, pengarahan kemampuan secara sembrono, asal-asalan atau sekedarnya saja tidak dinamakan ijtihad. Dari menganalisa defenisi di atas dan membandingkannya dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
Ijtihad adalah pengarahan daya nalar secara maksimal;
Usaha ijtihad yang dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang di sebut fiqih;
Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah;
Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath.[4]

C. Landasan Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad antara lain:
1.       Surah An-Nisa (4): 59
( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur'an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya dan mewajibkan kembali pada Allah dan Rasulnya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja atau berijtihad dengan menerapkan kaedah-kaedah umum yang disimpulkan dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah.
2.      Hadist yang diriwayatkan dari Mu'az bin Jabal ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur'an kernudian dengan sunnah Rasulullah dan kemudian dengan melakukan ijtihad.[5] Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk vumenggali dan merumuskan hukum Syara' dalam hal-hal yang Syara' sendiri tidak menetap secara jelas dan pasti.
Menurut al-Syatibi, ayat-ayat al-Qur'an yang tergolong kepada qoth'i tidak dapat di ternbus oleh ijtihad, sedangkan ayat yang tergolong kepada Zhanni merupakan lapangan ijtihad dan interpretasinya dapat berkembang dalam perubahan sosial.[6]

D. Urgensi Ijtihad
            Dalam Islam, ijtihad merupakan bahasan yang tak henti-hentinya dan menjadi kajian ramai para ulama zaman klasik hingga sekarang, sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya. Demikian juga dengan Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fukhul sampai pada ulama-ulama kontemporer semisal Abdul Wahab Khalaf, Yusuf Qaradhawi, Wahbah Zuhaili,  dan Ali Jum’ah. Bahkan hampir di setiap buku-buku ushul fikih selalu disisakan ruang pembahasan resmi tentang ijtihad. Adapun sandaran teks-teks keagamaan  yang mengatakan bahwa ijtihad masih relevan sampai zaman sekarang diantaranya adalah Firman-Nya:
Fain tanâza’tum fî syaiin farudduhu ilalLâh wa al-Rasuli inkuntum tu’minu bilLahi wal-yaumu al-âkhir” (QS:4:59).
Artinya: “  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS:4:59).
Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan akan adanya ijtihad yang harus dilakukan oleh manusia. Selain itu, ayat lain menyebutkan “wa amruhum syurâ bainahum”, kata “syura” dalam ayat tersebut mengandung arti pembahasan segala sesuatu untuk menentukan hukum syar’i pada setiap permasalahan dengan merujuk pada  dalil yang terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini tidak lain merupakan suatu ijtihad. Begitu juga dengan perkataan Rasul yang menyebutkan bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu agama pada umat Islam dalam setiap seratus tahunnya. Pembaharu (mujaddid) tersebut sudah barang tentu adalah orang yang memiliki pengetahan yang luas dan kafa’ah dalam ilmu syariah sehingga mampu menghidupkan Sunah dan menghindari bidah. Tidak lain adalah  ijtihad itu sendiri. Dalam  hadis lain, Nabi mengatakan bahwa apabila seseorang berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, namun bila dia salah maka baginya satu pahala. Begitu juga dengan perizinan Nabi kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika mengutusnya  ke Yaman untuk tidak mengapa berijtihad ketika di dalam al-Quran dan Sunah tidak didapati  legalitas sebuah obyek.
Bersama dengan hal ini, maka sepatutnya kita mengatakan bahwa pintu ijtihad sampai sekarang masih terbuka, bahkan menjadi suatu kebutuhan yang primer terutama pada era globalisasi seperti sekarang ini, dimana perkembangan teknologi dan munculnya permasalahan-permasalahan baru selalu menuntut legalitas hukum. Oleh karenanya hampir semua ulama menyatakan akan wajibnya berijtihad bagi siapa saja yang telah mampu dan memenuhi kriteria untuk berijtihad. Dr. Wahbah Zuhali, ulama kontemporer dari Damaskus Siria berpendapat, bahwa tuntutan perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan di masa ini mengharuskan kita untuk menggunakan ijtihad sebagai instrumen  pengambilan hukum. Hal senada juga di ungkapkan oleh Abdurrahman Zaidi dalam risalah magister-nya yang berkenaan dengan masalah ijtihad, ia menyatakan bahwa ijtihad merupakan perbuatan yang terpuji bahkan dharuri, hal itu didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, tidak diperbolehkannya seorang muslim menggunakan hawa nafsunya dalam memutuskan hukum pada setia kejadian dan masalah-masalah baru, maka menjadi wajib bagi kita menggunakan ijtihad.  Kedua, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama akan kebutuhan berijtihad dalam menentukan hukum pada setiap permasalahan yang ada.
Maka, pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup pada dasarnya hal itu disandarkan pada sejarah dimana ketika abad ke-4 Hijriyah umat Islam saat itu mengalami perpecahan. Dr Ahmad Buud (2006) berhipotesa akan  beberapa hal yang menyebabkan kemandegan dalam berijtihad saat itu diantaranya adalah, pertama, fanatisme mazhabiyyah tertentu. Kedua,  hilangnya rasa kebebasan individu, karena pada masa tersebut, otoritas pemerintahan dipegang oleh seorang raja (hegemoni kekuasaan) bukan lagi khalifah. Ketiga, para ulama fikih sendiri banyak yang terjerumus pada urusan politik, sehingga fatwa-fatwa mereka lebih banyak digantungkan pada kondisi politik tertentu atau saat itu. Keempat, terpecahnya Daulah al-Islamiyah menjadi beberapa wilayah, sehingga proses kreatif berijtihad menjadi sedikit terhambat.
Kemandegan berijtihad tersebut pada akhirnya banyak menimbulkan pengaruh negatif bagi umat Islam itu sendiri, diantaranya tercerabutnya nilai-nilai dakwah dari sistem Islam itu sendiri. Terlihat seakan-akan ada jurang pemisah antara syariah dengan fenomena hidup yang terjadi. Padahal hakekatnya, syariat Islam selamanya akan sesuai dengan dilalektika hidup. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya membawa umat Islam pada sebuah kesadaran bahwa Islam dengan sistem holistiknya tidak akan bisa berkembang jika pintu ijtihad tertutup. Titik kesadaran umat Islam juga mulai sembuh dengan adanya usaha merekonstruksi kembali pemahaman Islam, yang tak lain adalah pembumian kembali konsep ijtihad tadi. Akhirnya dunia Islampun senantiasa membuka pintu selebar-lebarnya kepada para mujtahid untuk berijtihad dan berkreasi.
Uraian di atas sebenarnya mengerucut pada pembahasan mengenai pentingnya ijtihad dan urgensinya dalam kehidupan kita, sebagai upaya pembumian syariat islam yang kita yakini sebagai manhaj hidup. Dengan ijtihad, maka syariat Islam selamanya akan terlihat eliminer dalam berbagai ruang dan waktu. Tak ayal, ijtihad di era kontemporer adalah suatu keniscayaan.[7]
Dalam hal ini, ijtihad telah terbukti menjadi alat yang ampuh untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak masa awal Islam sampai pada masa keemasannya. Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat di dalam Alquran dan hadis dapat dipecahkan oleh para mujtahid. Dengan ijtihad, Islam mampu berkembang dengan pesat menuju kesempurnaannya. Sebaliknya, ketika ijtihad sirna dari kalangan umat Islam, mereka mengalami kemunduran. Ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya (Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyyah, 1995).
Ijtihad adalah ruh penggerak berkembang dan majunya berbagai pemikiran keagamaan pada masa kejayaan Islam tempo dulu, bahkan hingga saat ini. Padahal, jika dicermati lebih dalam, di dalam Al-Qur’an sebetulnya tidak ada kata ijtihad dalam pengertian yang dipahami saat ini. Yang ada justru adalah kata jihad. Ijtihad sangat urgen dan penting artinya. Dalam setiap masa, harus ada orang-orang spesialis dan benar-benar tahu bagaimana menerapkan dasar-dasar Islam pada berbagai masalah zaman yang senantiasa berubah. Mereka juga harus mengetahui kategori suatu masalah dalam kerangka dasar-dasar Islam.[8]

E. Nilai Ijtihad
Ada legalisasi niscayanya ijtihad, dalam pengertian optimalisasi kemampuan nalar, di dalam sunah Nabi. Di antaranya, ketika hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau menanyakan soal apa yang jadi landasan Muadz nantinya ketika menghukumi sesuatu. Muadz mengatakan akan menggunakan Kitabullah. Jika tidak ada dalam Kitabullah, maka menggunakan sunah Rasulullah. Jika tidak ada, maka menggunakan ijtihad nalar (HR. Bukhari-Muslim). Nabi sendiri mengatakan bahwa seorang yang berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Pahala ijtihad dan pahala benarnya ijtihad itu.
Atas dasar itu, dapat dipahami bahwa tidak ada sesuatu pun yang punya realitas mutlak. Dari sini mulailah terjadi perubahan ilmu yang sesungguhnya dalam artian perubahan hakikat dan bukan perubahan bentuk. Tidak ada realitas lain kecuali hasil ijtihadnya itu. Sekiranya ijtihad yang dilakukan para mujtahid mengalami perubahan dan mereka sepakat bahwa hukum sesuatu adalah demikian, maka hukum sesuatu itu pun sesuai dengan hasil ijtihad mereka. Jika para mujtahid berkesimpulan lain pada suatu zaman, maka realitasnya pun sama dengan hasil ijtihad mereka ini. Apa pun penyebab perubahan dalam ijtihad mereka, misalnya saja, kemajuan dalam bidang kebudayaan, ada kesamaan antara ijtihad dengan realitas. Tidak menjadi persoalan bahwa dalam suatu masalah Islam mempunyai seratus hukum, karena kita juga punya seratus bentuk ijtihad dalam masalah ini.[9]

F. Syarat-Syarat Ijtihad
Seseorang yang akan melakukan ijtihad, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.       Menguasai Al-Qur'an dengan dengan segala ilmunya. Artinya memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat Al-Qur'an terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum.
2.      Menguasai Sunnah Nabi dengan segala ilmunya Artinya memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang Sunnah Nabi terutama yang berkaitan dengan masalah hukum.
3.      Mengetahui dan menguasai masalah-masalah yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu masalah yang telah menjadi ijma’.
4.      Memiliki pengetahuan yanag luas tentang qiyas, dan ilmu logika, yang akan dipergunakan dalam proses istinbat hukum.
5.      Menguasai bahasa Arab dengan segala ilmunya, karena al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum tersusun dalam bahasa Arab.
6.      Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang nasakh dan mansukh dalam al­Qur'an dan Sunnah.
7.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu Ushul fiqh, dan kaidah-kaidah istinbat hukum.
8.     Memiliki pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul ayat-ayat al-Qur'an dan Asbab al­Wurud hadist, untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat atau keluarnya hadist Nabi, agar mampu menggali hukum dengan tepat terhadap masalah yang di hadapinya.
9.      Mengetahui riwayat dan latar belakang para rawi hadist, untuk menilai kualitas hadist terutama yang akan di jadikan landasan istinbath hukum.
10.  Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang maksud syariah (maqashid al-Syari’).
11.   Memiliki pengetahuan tentang manusia dan lingkungan tempat ia berijtihad, serta memilki pengetahuan tentang masalah yang menjadi objek ijtihad.
12.  Di samping syarat-syarat intelektual di atas, seseorang yang akan berijtihad, ia juga harus memiliki sifat-sifat lain yang berkaitan dengan integritas dan moralitas pribadinya, yaitu niat yang ikhlas untuk mencari kebenaran, taqwa kepada Allah SWT, dewasa, berakal, sehat jasmani dan rohani, jujur dan sifat-sifat terpuji lainnya.[10]

G. Lapangan Ijtihad
Para ulama Ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadist Rasulullah yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (Qathi’) datang dari Allah dan Rasulnya seperti Al­-Qur'an dan hadist Mutawatir (hadist yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong). Al-Qur’an yang beredar di kalangan umat Islam sekarang ini adalah pasti (Qathi’) keasliannya datang dari Allah dan begitu juga hadist Mutawatir adalah pasti (Qathi’) datang dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik Al-Qur’an atau hadist Mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang Mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan.[11] Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak jelas dalam Al-Qur'an maupun hadist nabi.
Hal ini sejalan dengan apa yang dapat ditangkap dari dialog antara nabi dengan Mu'az bin Jabal yang menyatakan bahwa ia akan rnelakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari Al-Qur' an dan hadist. Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an dan hadist.
Demikian pula halnya para ulama Ushul fiqh telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadist yang menjelaskan hukum secara jelas dan pasti (Qathi'). Wahbah Az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada hukum­hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam Al-Qur'an dan sunnah misalnya kewajiban melakukan solat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, larangan berzina dan lain-lain yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an dan sunnah.[12]
Adapun hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni baik dari segi datangnya dari Rasul atau dari segi pengertiannya yang dapat dikategorikan kepada tiga macam).
1.       Hadist Ahad, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seseorang atau beberapa orang yang tidak sampai kepada Hadist Mutawatir. Mengenai hadist-hadist ahad, dapat dilakukan ijtihad. Si mujtahid membahas sah tidaknya sanad dan jalan sampainya kepada mujtahid. Hukum-hukum yang tidak ada nash dan bukan urusan yang mudah di ketahui bahwa dia dari agama, tetapi telah ijma’ maka si mujtahid hanya memeriksa benarkah telah ijma’ atau tidak. Dan sesuatu yang ada nash, dhanni tsubut dan dalalahnya maka kita harus pelajari dalalahnya juga segi umum dan khusunya. Sesuatu yang ada nash qath’i tsubutnya, tetapi dhanni dalalahnya, sesuatu yang ada nash qath’i tsubutnya, tetapi dhanni dalalahnya, sesuatu yang ada nash dhanni tsubutnya, qath’i dalalahnya, sesuatu yang tak ada nashnya, dan tidak diketahui dengan mudah bahwa dia dari agama inilah yang diperlukan ijtihad.[13]
2.      Lafal-lafal redaksi Al-Qur’an atau Hadist yang menunjukkan pengertiannya secara tidak tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat di tangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadist yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi lapangan ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang di maksud oleh suatu teks. Dalam hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum.
3.      Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan perannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti dengan qias, istihsan, maslahah mursalah, ‘uruf, istishab, dan sadd al-zari’ah. Di sini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.[14]

H. Ijtihad di Masa Sahabat
Menurut Amiur Nuruddin dalam bukunya, Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam (1991), memang Islam selalu mencari bentuk-bentuk yang baru, serta segar bagi realisasi dirinya. Dan ternyata, ia senantiasa menemukan bentuknya. Bentuk-bentuk itu lahir ketika menampung kemaslahatan pada tiap perkembangan dan penambahannya. Kemaslahatan dapat diwujudkan dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi dan situasi sosial untuk selanjutnya menafsirkan preseden hukum yang telah mapan.
Bila pada masa Nabi masih hidup telah terjadi ijtihad yang dilakukan oleh Nabi atau oleh para sahabat ketika tidak ditemukan petunjuk dalam menghadapi suatu masalah hukum karena tempatnnya berjauhan dari Nabi atau wahyu terlambat turun, maka setelah Nabi wafat pelaksanaan ijtihad oleh para sahabat semakin banyak terjadi. Penyebab sering terjadinya ijtihad itu adalah karena masalah yang menuntut jawaban hukum semakin banyak sebab semakin maju dan berkembangnya kehidupan sosial yang memunculkan masalah baru yang memerlukan jawaban hukum, sedangkan wahyu sebagai sumber hukum sudah terhenti sama sekali, baik wahyu yang tertulis (al-Qur’an), maupun wahyu tidak tertulis (sunnah Nabi).
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh ijtihad pada masa sahabat:
1.       Pada waktu Nabi masih hidup bahkan sampai wafatnya, Al-Qur’an itu belum terkumpul, tetapi terekam dalam hapalan para sahabat yang menghapalnya. Dalam suatu perang melawan orng kafir banyak penghapal Al-Qur’an yang meninggal. Dikhawatirkan hilangnya kumpulan wahyu Allah dengan meninggalnya semua penghapal. Timbullah ide untuk mengumpulkan Al-Qur’an, tetapi petunjuk dari wahyu dan dari nabi untuk itu tidak ada. Namun karna ide tersebut baik, dalam rangka menjaga keutuhan wahyu, maka terlaksanalah pengumpulan wahyu Al-qur’an itu, meskipun belum tersusun secara teratur sebagaimana dalam bentuknya yang sekarang. Inilah hasil ijtihad sahabat.
2.      Meskipun terhadap pencuri ada petunjuk Al-Qur’an untuk memotong tangannya bila memenuhi syarat yang di tentukan Nabi, namun Umar bin Khattab tidak pernah melaksanakan hukuman itu terhadap pencuri karena keadaan pada waktu itu sedang terjadi krisis atau paceklik.
3.      Pada masa Nabi dan begitu pula masa Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, azan sholat jum’at seeblum khatib naik mimbar hanya satu kali, karena dengan satu kali dirasa sudah cukup untuk memberikan tahu masuknya waktu sholat Jum’at. Karena jamaah pada waktu Usman semakin banyak, dirasakan tidak cukup lagi kalau azan itu hanya satu kali, oleh karena itu beliau menetapkan berdasarkan ijtihadnya dengan memberlakukan azan Jum’at sebanyak dua kali sebelum khatib naik mimbar.[15]
            Contoh-contoh di atas hanyalah sebahagian kecil praktik ijtihad di kalangan para sahabat, baik dalam kedudukannya sebagai khalifah maupun sebagai penduduk muslim biasa yang di catat sebagai ijtihad yang dilakukan para sahabat.

I. Penutup
Ijtihad merupakan upaya untuk menemukan hukum tentang suatu masalah yang belum disebutkan secara khusus dalam nash. Hal ini adalah kegiatan yang dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh Allah SWT, sebagai pencipta syari’at (Syar’i) dan oleh Rasulnya. Pembenaran dan anjuran ijtihad itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk yang dapat kita baca dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist dapat dipecahkan oleh para mujtahid. Islam mampu berkembang dengan pesat menuju kesempurnaannya juga melalui ijtihad. Sebaliknya ketika ijtihad sirna dari kalangan Islam, pastilah mengalami kemunduran. Begitu pentingnya kedudukan ijtihad bagi ummat Islam dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Sementara kita sedang berada dalam satu masa yang mau tidak mau akan berhadapan dengan sebagala macam persoalan yang dulunya tidak pernah menjadi ada.
Pada saat ini hukum Islam sedang menghadapi tantangan yang amat serius seiring dengan banyaknya hal baru yang muncul dan berubah dalam setiap aspek kehidupan ummat. Tuntutan penyegaran produk klasik atau perbuatan produk hukum baru pun tak terelakkan. Dengan alasan itu, dapat dipahami bahwa tidak ada sesuatu pun yang punya realitas mutlak. Tidak ada trealitas lain kecuali hasil ijtihadnya itu.
Dalam melakukan ijtihad, tidaklah dapat dilakukan bagi orang yang biasa-biasa saja tetapi orang yang terlibat dalam menggali hukum Islam harus benar-benar diakui kapasitas keilmuannya untuk dapat mensintesa dalil-dalil hkum dari berbagai sumber utama hukum Islam, menjadi sebuah produk hukum aktif, aplikatif, dan dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Alllah SWT serta ummat. Dan sudah barang tentu para pakar hukum Islam dapat saja terinspirasi dengan ijtihad-ijtihad yang pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah yang senantiasa mengedepankan kemashalatan ummatnya.



DAFTAR PUSTAKA
Hafnawi, Muhammad Ibrahim. Dirasatu Ushuliati. Cairo : Tanpa Tahun
Khallaf, Abd al-Waha, Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam. Cairo, 2004
M. Zein, Satria effendi, Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana, 2008
Muthahhari, Muthadha, Islam dan Tantangan Zaman. Bandung : Pustaka Hidayah, 1996
Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqot fi ushuli al-Asyariah, Beirut : Dar al – Kutub al-Ilmiyah, 2003
Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim. Alluma’ Fii Ushuli al-Fiqh. Semarang : Karyati Putra tanpa tahun
Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2001
Usman, Suparman, Hukum Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2002
Zaidan, Abu al-Karim. Al-Wajiz Fii Ushul al-Fiqh, Beirut, Dar al-Kutub aL-Ilmiyyah. 1999



[1] Pengubahan kata dari jahadah      ﺠﻬﺩ atau jahida   ﺠﻬﺩ    menjadi ijtahada (  ﺍﺠﺘﻬﺩ) dengan  cara menambahkan dua huruf, yaitu “alif” di awalnya dan “ta” antara “jim” dan “ha”, mengandung enam maksud, satu diantara maksudnya yang tepat adalah untuk “mubalaghoh”                   (    ﻤﺒﺎﻠﻐﺔ ) yaitu dalam pengertian “sanat”. Bila kata jahada dihubungkan dengan bentuk masdarnya tersebut, pengertiannya berarti kesanggupan yang sangat atau kesungguhan yang sangat. Lihat: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu), 2001, h. 224
[2] Al-Imam Abi Ishaq Ibrahim bin Yusuf Al-Syirozi, Al-Luma’fii ushuli Al-fiqh; Semarang: Karyati Putra, tanpa tahun, h. 70.
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. h. 225
[4] Ibid, h. 226
[5] Satria Effendi. M. Zein, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008, Hlm
[6] Abu Ishaq al-Syatibi, AZ-Muwafaqot Fz ushul al- Syarz'ah, juz 1, cet iii (Beirut: Dar al-Kutub al-­Ilmiyah, 2003, h. 100

[7] http://mahadalytebuireng.wordpress.com/2009/04/22/urgensi-ijtihad-dalam-menyelesaikan-problematika-fihq-kontemporer/
[8] Murtadha Muthahhari, Islam Dan Tantangan Zaman, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996, h. 164.
[9] Ibid, h. 318
[10] Suparman Usman, Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 56.
[11]  Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm . 248

[12] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, hlm. 250
[13] T.M, Hasbi Ash-Shiddlieqy, pengantar ilmu fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 202-203
[14] Satria Efefendi, M. Zein,  Ushul Fiqh, hlm 251
[15] Amir Syarifuddin, Ushul  Fiqh, hlm. 241

Tidak ada komentar: