Rabu, 16 November 2011

Pembentukan Hukum Islam di Aceh (Analisis Hukum Tatanegara Indonesia)

A. Prakata
Desentralisasi adalah proyek bangsa yang tidak bisa ditolak. Desentralisasi tersebut menunggu hampir 67 tahun sejak dirumuskan pertama kali oleh Muhammad Hatta tahun 1933[1]. Padahal landasan konstitusional otonomi ini juga sudah termasuk dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya penjelasan pasal 18 yang berbunyi : “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu ‘eenheidstaat’, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungan yang bersifat ‘staat’. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan selanjutnya provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechts-gemeenschappen) tau bersifat daerah administratif belaka semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang”[2].
Setelah reformasi politik pasca 1998 adalah Desentralisasi. Saat pemerintahan orde baru dianggap menjalankan amanatnya untuk meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan bagi seluruh daerah Nusantara, maka rakyat menuntut desentralisasi. Pemerintah pusat yaitu Jakarta, dirasakan terlalu berkuasa dan dianggap sebagai sumber masalah bagi Indonesia. Oleh karena itu, sumber daya politik, pemerintahan dan ekonomi harus didesentralisasikan ke pemerintah daerah dan masyarakat daerah yang jauh dari Jakarta yang selama ini tidak berdaya.
Aceh sebagai salah satu provinsi yang mempunyai sejarah panjang terhadap pemerintahan pusat dan Jakarta, mulai membuka diri untuk dapat melihat kondisi diri yang selama ini berada dalam rezim-rezim terdahulu. Dengan adanya UU No. 18 Tahun 2001 yang telah disahkan tanggal 9 Agustus 2001 dengan lembaran Negara Tahun 2001 No. 114, maka provinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Dengan UU otonomi tersebut NAD merupakan provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam menetapkan dan menerapkan kebijakan hukum Islam khususnya diwilayahnya tanpa ada aturan yang mengikatnya selain peraturan daerah (Qanun). Tata hukum Negara Indoensia seolah-olah sebagai lampu redup, sehingga keberadaannya dipertanyakan baik teori maupun realisasinya. Seolah-olah Hukum Nasional kita menjadi longgar ketika arus otonomi kian semarak di bumi persada ini tanpa menghiraukan konflik yang timbul di berbagai daerah.
Berdasarkan uraian singkat tadi, penulis membuat beberapa stressing yang dapat membawa kita semua untuk dapat memahami serta mempelajari beberapa permasalahan yang kerap muncul, khususnya pelaksanaan Hukum Islam serta hal-hal yang urgent dalam menyikapi kompleksitas Hukum Tata Negara kita dalam melihat Otonomi Daerah tersebut. Adapun yang akan penulis uraikan dalam makalah ini, antara lain: Desentralisasi dalam Perkembangan teori dan praktek, desentralisasi sebagai sebuah kebijakan, evaluasi aspek kewenangan Hukum Islam di NAD, Aktualisasi hukum Islam di NAD setelah berlakunya UU No. 18 tahun 2001, UU No. 32 Tahun 2004 dan Perda, Analisis Hukum Tata Negara Indonesia Terhadap Eksistensi Hukum Islam di NAD.

A.    Desentralisasi dalam Perkembangan Teori dan Praktek
Wacana desentralisasi dalam kepustakaan politik dan pemerintahan lokal sebenarnya berangkat dari tradisi pemikiran politik yang poliarkis[3]. Pemikiran politik poliarkis adalah sebuah pemikiran yang memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya ruang kebebasan bagi masyarakat. Pemikiran ini juga dapat membiasakan diri dalam berbagai pemikiran alternatif untuk memecahkan kebutuhan dari suatu masalah terutama ditujukan untuk hadirnya unit-unit politik Independen di luar wilayah negara.
Isu demokrasi yang semakin menguat terutama di negara-negara berkembang telah menjadikan negara tersebut sebagai kekuatan gelombang ketiga (Third Wave) yang juga merupakan angin segar bagi semangat mengembangkan desentralisasi secara teoritik. Demokrasi yang mempersyaratkan tumbuhnya masyarakat sipil ditopang dengan sistem pemerintahan desentralistik yang mengakomodir aspirasi dan partisipasi masyarakat secara utuh.
Gambaran demokrasi yang datang dari berbagai penjuru dunia memaksa negara-negara yang semula beraliran sentralisasi dan totalitarian untuk mempelajari konsep ini. Apalagi ketika gagasan demokrasi yang hingga kini berhembus kian kencang di seluruh pelosok dunia. Hal ini juga ditopang dengan kuat oleh semangat globalisasi dalam berbagai pengertian ekonomi, agama, hukum, politik, sosial maupun budaya. Hal inilah yang membuat cara pandang terhadap kekuasaan negara mulai berubah dari yang serba sentralisasi menuju desentralisasi.
Globalisasi, demokratisasi dan desentralisasi masing-masing membawa isu yang kurang lebih sama, yakni membuat partisipasi warga untuk menatap ke depan dengan segala kekuatan. Globalisasi ekonomi, hukum, dan agama mensyaratkan kepentingan privasi yang harus dijunjung tinggi. Apalagi ketika pelaksanaan syari’at Islam di NAD. Fenomena seperti ini harus disikapi karena NAD rawan terhadap konflik kepentingan yang terus mengalir bagai air yang mengalir tanpa henti. Demokratisasi berupaya menegakkan supermasi masyarakta sipil. Demikian pula desentralisasi, isu terkahir ini dalam konteks pemerintahan lebih substansial karena berusaha untuk mendelegasikan kewenangan sehingga pemerintah pusat bukan merupakan hal utama kecuali hal terntentu yang dianggap urgen.


Secara teoritik karakteristik yang bisa dikenali dari desentralisasi ini adalah pemerintah lokal harus diberi otonomi dan kebebasan . Dalam berbagai hal harus dianggap sebagai wilayah terpisah yang tidak mendapatkan pengawasan langsung dari pemerintah pusat. Karakteristik lainnya adalah pemerintah lokal setidaknya memiliki batas-batas kewilayahan yang ditetapkan secara hukum. Hal itu ditujukan agar tataran administratif sebuah pemerintah lokal mampu melaksanakan fungsi-fungsinya. Dengan adanya desentralisasi, maka masalah kebijakan tidak lagi semata-mata hanya di monopoli oleh pemerintah pusat, tetapi sebagian telah diserahkan kepada daerah dan menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Walaupun ada Hirarki dalam suatu struktur birokrasi, harus ada wewenang dalam tugas yang luwes dan pengambilan keputusan. Apabila saja aparatur  ditingkat atas menetapkan kebijakan yang bersifat umum, maka aparatur di tingkat bawah juga harus diberi kesempatan menjabarkannya ke dalam kebijakan lokal dan program operasional sesuai dengan komitmen UU No. 18 tahun 2001, dimana NAD mempunyai keistimewaan di bidang agama khususnya pelaksanaan syari’at Islam. Kendati demikian penitngnya gelombang desentralisasi ini dalam tataran praktis maupun teoritis, tidak semua hal bisa dicapai dengna cara yang mudah. Desentralisasi merupakan pilihan yang baik dalam menyelenggarakan pemerintahan. Walaupun implementasinya diberbagai daerah, terutama daerah yang sedang berkembang  lewat  pemekaran  daerah  masih  mendapat  hambatan  struktural,
sehingga penyelenggaraan politik hukum masih setengah hati[4]

B.    Desentralisasi sebagai sebuah Kebijakan
Desentralisasi dalam pengertian politik pemerintahan dilakukan untuk memenuhi tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalam wilayahnya. Dalam sebuah negara dengan tingkat diskriminasi, keterpisahan wilayah (kepulauan), perbedaan suku dan kepentingan hukum itu sendiri serta pembangunan yang sangat tinggi. Melihat hal demikian tuntutan untuk merealisasikan desentralisasi secara luas merupakan suatu babak baru dalam sistematika hukum di negara kita.
Sebenarnya tuntutan mengenai desentralisasi itu sendiri sangat wajar dan justru menguntungkan pemerintah pusat. Salah satu alasan yang paling utama adalah sebagaimana Rondinelli mengungkapkan “bahwa kebijakan desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi kepadatan beban kerja di pemerintah pusat”. Program pembangunan didesentralisasikan dengan harapan keterlambatan bisa dikurangi secara maksimal. Dengan demikian pelaksanaan sebuah pemerintahan berdasarkan aspirasi masyarakat dapat di akomodir dan bisa diterpkan secara cepat, tepat, efektif dan efisien. Asumsi tersebut menggambarkan bahwa pemerintahan yang sentralistik sudah terbukti tidak efektif dan selalu lambat dalam menghasilkan kualitas pembangunan dan pengaktualisasian hukum yang baik untuk masyarakat di daerah yang memiliki keanekaragaman budaya dan adat istiadat serta mempunyai nilai yang sukar diubah.
Dampak yang sangat penting diharapkan dari penerapan kebijakan yang bersemangatkan desentralisasi adalah terjadinya perubahan kebijakan (policy change) dari paradigma sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik mengarah kepada sistem pemerintahan desentralistik dengan memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengurus kepentingan daerahnya. Mawhood mengemukakan bahwa tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah upaya mewujudkan keseimbangan politik (political equality), pertanggungjawaban pemerintahan lokal (local responsiveness) dan akuntabilitas pmerintah lokal (local accountability)[5]. Ketiga tujuan ini saling berkaitan satu sama lain. Adapun prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut dalam konteks Indonesia adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah (PAD) sendiri (local own income); memiliki badan-badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah; dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat melalui suatu pemilihan yang bebas[6].
Secara teknis, hal tersebut juga mempengaruhi cara mereka dalam membentuk unti-unit pemerintahan di tingkat lokal, kewenangan-kewenangan dilimpahkan serta hubungan antara pemerintah pusat dan daerah secara lebih umum. Gejolak politik serta perubahan pemerintahan memberi andil yang sangat besar bagi perubahan politik pemerintahan yang sedang berjalan. Jika perubahan mengarah ke suasana yang lebih demokratis dan positif, maka kebijakan desentralisasi ayang berkembang akan mengikuti arah politik tersebut. Namun sebaliknya jika arah politik lebih sentralistik, maka kebijakan desentralisasi yang ada akan kandas, atau minimal diselewengkan ke arah yang lebih negatif oleh elit-elit politik.
Adapun gagasan melaksanakan desentralisasi dengan otonomi penuh (devolusi) adalah merupakan alternatif yang paling sesuai untuk menghilangkan kesenjangan antar daerah. Apabila dilihat dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh devolusi tersebut antara lain:
1.       Adanya otonomi penuh dan kebebasan tertentu pada daerah dengan pengawasan pemerintah pusat yang relatif kecil.
2.      Pemerintah daerah memiliki kekuasaan dan kewenangan hukum yang jelas, dan berhak untuk menjalankan fungsi-fungsi publik dan politik.
3.      Adanya pemberian status dan kekuasaan yang cukup pada daerah untuk menggali sumber daya yang ada di wilayahnya.
4.                              Mengembangakn pemerintah daerah sebagai institusi.
5.      Adanya interaksi timbal balik dan saling menguntungkan anatara pemerintah pusat dan daerah.
Secara umum, beberapa prinsip dasar yang harus dipegang oleh semua pihak dalam persiapan dan pelaksanaan otonomi daerah adalah:
1.       Otonomi daerah harus dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.
2.      Pelaksanaan otonomi daerah menggunakan tata cara desentralisasi, karena dengan demikian peran daerah sangat menentukan.
3.      Pelaksanaan otonomi daerah harus dimulai delam kerangka pendefinisian kewenangan, organisasi, personal kemudian diikuti dengan keuangan bukan sebaliknya.
4.      Adanya perimbangan keuangan baik horizontal/ antar daerah (antar provinsi dan antar kabupaten/ kota dalam satu provinsi) maupun perimbangan vertikal antar pusat dan daerah.
5.      Fungsi pemerintah pusat masih sangat vital, baik dalam kewenangan strategis (politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya), maupun untuk mengatasi ketimpangan antar daerah.[7]
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, jelaslah bahwa implementasi UU No. 22 tahun 1999 tidaklah tanpa masalah, karena dalam prakteknya menciptakan sejumlah permasalahn baru sebagai implikasi dan konsekuensi baik bersifat administratif, politik, sosial, ekonomi, agama dan hukum. Hal ini tidak hanya menambah agenda permasalahan dalam penguatan otonomi daerah, tetapi juga telah melahirkan pertentangan dan konflik horizontal pada tingkat lokal. Termasuk hukum/ pelaksanaan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam yang sarat dengan perbedaan dan permasalahan dalam segi penerapan dan pelaksanaannya.

C.    Evaluasi Aspek Kewenangan Hukum Islam di NAD
Hukum dalam suatu masyarakat memegang fungsi sekunder. Dalam sejarah kegiatan kemasyarakatan, hukum biasanya berjalan diam-diam, dan kebanyakan orang dalam masyarakat tidak menyadari operasionalisasi hukum itu. Tetapi setelah penerapan hukum terhambat, maka masyarakat menyadarinya. Hukum itu dapat diumpamakan udara bagi hidup manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Masyarakat biasanya tidak menyadari adanya udara yang bersih untuk kehidupan itu, karena udara dianggap sebagai hal yang telah semestinya. Akan tetapi, kalau terjadi kekurangan udara maka kita baru menyadari akan pentingnya udara. Inilah yang dimaksudkan bahwa hukum itu menduduki fungsi sekunder dalam penyelenggaraan negara dan masyarakat[8].
Sekunder hukum berarti kurang penting, tetapi dalam arti hukum hal tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu baru terjamin usaha dan karya yang hendak dilakukan akan terwujudkan. Apabila hukum telah terwujud, pasti sebagian keberhasilan akan terjamin. Satu segi dari proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum yang mempunyai tingkat kepedulian terhadap tuntutan masyarakat. Hukum yang benar adalah hukum yang diangkat dari norma-norma hidup dalam masyarakat yang dapat disitilahkan dengan “Norma Rasa Keadilan”.[9]
Bagi umat Islam, tidak ada pilihan lain selain meyakini bahwa menjalankan syari’at Islam merupakan bagian dari menjalani agamanya secara kaffah. Kalau kini banyak terungkap keinginan untuk menegakkan syari’at Islam diberbagai tempat kelahirannya bukan karena demokrasi, reformasi dan kebebasan. Hal tersebut karena kesadaran umat Islam terhadap perbedaan hukum barat yang berasal dai akal pikiran manusia dengan syari’at Islam yang bersumber dari dua rujukan hidup yang valid, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum Islam di pandang paling sesuai dengan rasa keadilan. Syari’at Islam dianggap paling bisa memenuhi lima keadilan sebagai kebutuhan dasar hidup manusia (Maq±shid as-Syari’ah al-Khamsah), yakni melindungi agama (din), jiwa (nafs), harta (mal), Akal (‘aql) dan keturunan (nasb).
Karena syari’at Islam berfungsi melindungi kepentingan yang sangat mendasar, maka harus dilaksanakan. Melalui penegakkan syari’at Islam ini hukum pidana Islam lahir menjadi kenyataan dan dapat menunjukkan fungsinya. Disisi lain sebagian hukum Islam, khususnya yang terkait dengan segi-segi perdata, telah dijalankan dinegeri kita saat ini, sebagaimana juga dinegeri-negeri muslim lainnya. Sedangkan untuk penegakkan hukum pidana Islam masih banyak kendala-kendala yang menghadang, terlebih melihat kondisi NAD dalam rangka pelaksanaan syari’at Islam, antara lain:
1.       Kendala Kultural atau Sosiologis, yaitu adanya umat Islam yang masih belum bisa menerimanya.
2.      Kendala Pemikiran (fikrah), yaitu banyaknya pandangan negatif terhadap hukum pidana Islam dan kurang yakin dengan efektivitasnya.
3.      Kendala Filosofis berupa tuduhan bahwa hukum ini tidak adil, kejam, ketinggalan zaman serta bertentangan dengan cita-cita hukum nasional.
4.      Kendala Yuridis yang tercermin dari belum adanya ketentuan hukum pidana yang bersumber dari syari’at Islam mengenai batas dan ukuran dari sebuah pelanggaran serta kejahatan jika ditilik dari segi sanksi.
5.      Kendala Konsolidasi, yaitu belum bertemunya para pendukung pemberlakuan syari’at Islam dari berbagai kalangan, sehingga mereka saling menonjolkan dalil dan metode penerapannya masing-masing.
6.      Kendala Akademis, terlihat dari belum meluasnya pengajaran hukum pidana Islam disekolah atau kampus.
7.      Kendala perumusan yang terlihat dari belum adanya upaya yang sistematis untuk merumuskan hukum pidana yang relevan Syari’at Islam sebagai persiapan mengganti hukum pidana Barat.
8.      Kendala Struktural yang terlihat dari belum adanya struktur hukum yang dapat mendukung penerapan syari’at Islam secara totalitas.
9.      Kendala Ilmiah, tercermin dari kurang banyaknya literaur ilmiah yang membahas hukum pidana Islam.
10.   Kendala Politik, terlihat dari tidak cukupnya kekuatan politik untuk menghasilkan penegakkan syari’at Islam melalui proses-proses secara global.[10]
Kendala-kendala diatas sebaiknya menjadi perhatian bersama semua komponen yang berjuang untuk menegakkan syari’at Islam di NAD. Tetapi perlu dipertimbangkan bahwa penegakkan Hukum Islam seperti pidana dan perdata Islam harus seimbang dan terkait dengan aplikasi syari’at Islam secara luas baik di bidang agama, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya.
Ada beberapa isu yang kerap menjadi sasaran kesalahpahaman orang terhadap hukum Islam, seperti masalah poligami, pembagian warisan, jihad, bunga bank, jizyah pajak bagi kafir dzimmi dan sebagainya. Seolah-olah hukum Islam ketika diperbincangkan ke hadapan umum menjadi buah bibir yang sangat dahsyat dampak serta urgensinya. Seandainya masyarakat mengetahui keunggulan hukum ini, sangat besar kemungkinannya justru merekalah yang akan mendukung pemberlakuan hukum Islam tersebut. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum Islam di negara Arab Saudi mampu menekan angka kejahatan sampai pada titik yang sangat rendah. Selanjutnya Freda Adler, memasukkan negara tersebut sebagai salah satu dari sepuluh negara dengan predikat “negara-negara terkecil angka kejahatannya” dibandingkan negara-negara lain di dunia.[11]
Dalam penelitian lain, guru besar Sistem Peradilan Pidana dari Sam Hauston State University, Texas Amerika Serikat, mencatat bahwa selama sepuluh tahun rata-rata angka kejahatan di Arab Saudi paling kecil dibandingkan negara-negara muslim lain yang tidak menerapkan hukum Islam khususnya pidana Islam. Satu sebab, menurut Prof. Souryal, syari’at Islam sangat berperan dalam memebentuk satu masyarakat anti kejahatan (noncriminal society) dan masyarakat dengan kontrol sosial yang tinggi.[12]
Hukum Islam di  NAD mempunyai tingkat kesulitan dalam penerapannya. Tetapi sebagian kecil hukum pidana Islam berjalan sesuai dengan ketentuan Syara’. Meskipun masih banyak ditemukan kerikil tajam yang menjadi batu sandungan. Hal ini dapat dilihat dalam masalah khamar, khalwat, dan sejenisnya dengan sanksi hukum cambuk di depan umum, dalam tahap pelaksanaan hukuk pidana Islam baru sebagian kecil saja sudah diterapkan dan masih banyak lagi pidana-pidana yang bersifat besar masih belum dilakukan. Persoalan ini karena belum adanya peraturan yang menjadi barometer penerapan hukum di sana, dan pelaksanaan hukum ta’zir sudah direalisasikan sedangkan hukum hudud belum diformulasikan seperti zina, aborsi dan sebagainya. Dan jalan untuk ke sana sudah mulai diperbincangkan di lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dalam tingkat provinvi, kabupaten/kota, kecamamatan maupun ke mukim-mukim (kelurahan) seta gampong-gampong (perdesaan). Juga mengenai peradilan syari’ah (Mahkamah Syar’iyah)  yang mempunyai wewenang yang sangat berlebihan dalam segi proporsinalitas perkara. Permasalahan ini yang sedikit banyaknya membuat kekaburan hukum peradilan di NAD dalam rangka penerapan syari’at Islam dengan peradilan umum yang berkiblat ke hukum perdata dan pidana Barat, baik mengenai materil dan formil.
Berdasarkan gambaran dan bukti-bukti yang berkembang dalam masyarakat, bahwa hukum pidana Islam memenuhi syarat sebuah hukum pidana modern. Hukum ini mengenal asas-asas atau prnsip-prinsip penting hukum pidana. Baik yang sudah dikenal oleh hukum Barat maupun yang belum, seperti asas legalitas, asas tidak berlaku surut, asas tiada pidana jika ada keraguan, asas kesamaan didepan hukum, asas praduga tak bersalah, asas kemanfaatan, asas pemaafan, asas perlindungan HAM, asas keadilan, asas kebenaran materil, asas individualisasi pendanaan dan sebagainya. Satu hal yang jelas, yaitu hukum pidana Islam berbeda dengan hukum barat yang tidak mengakui aspek agama.[13]
NAD dengan memanfaatkan otonomi daerah tampak lebih progresif dalam membumikan syari’at. Ada dua dasar untuk daerah NAD, yaitu UU No. 24 Tahun 1956 tentang pembentukan provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Daerah Istimewa Aceh sesuai perkembangan sosial, politik dan aspirasi yang sangat kuat bagi otonomi yang lebih luas. Disamping itu, sejarah perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial dan masyarakat yang Islam. Sehingga, daerah NAD mampu menjadi daerah modal bagi perjuangan dan pertahanan Republik Indonesia untuk memberikan kesempatan menjalankan pemerintahan sendiri bagi provinsi ini. Hal ini juga memerlukan pemberian otonomi khusus pemerintahan, kecuali kewenangan dalam hubungan luar negeri, pertahanan terhadap gangguan eksternal dan moneter.[14]
Adapun aspek kewenangan hukum Islam di NAD sebagaimana disinyalir dalam UU No. 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, meliputi : akidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qadha’ (peradilan), jinayah (pidana), munakahat (perkawinan) serta mawaris (hukum waris).[15]
Jika kita mencermati secara seksama, meski salah satu yang dicakup dalam pelaksanaan syari’at Islam di atas adalah jinayat (pidana), tampaknya hal itu dibatasi pada norma primer dari pidana Islam saja, yaitu penentuan larangan yang tidak boleh dilanggar. Sedangkan norma sekundernya yang berupa kaidah untuk melaksanakan sanksi atas pelanggaran norma primer tidak dilakukan sesuai pidana Islam, sehingga hukum hudud atau Qishash-diyat belum direalisasikan.
NAD saat ini tidak begitu saja menegakkan hukuman hudud. Ada beberapa persoalan yang mesti dipikirkan, antara lain:
1.       Perumusan ketentuan pidana sesuai syari’at Islam yang dapat dioperasionalkan.
2.      Persiapan penegak hukum atas peraturan pidana syari’at tadi, sebab penegak hukum yang ada tidak menguasai syari’at Islam.
3.      Penyusunan hukum acara pidana, sehingga kasus-kasus yang ada dapat diproses sesuai dengan acara pidana Islam.[16]
            Jadi, kita harus tetap melihat bagaimana perkembangan hukum pidana Islam diberbagai daerah di Indonesia. Jika terjadi dan berlangsung dengan baik, maka kemungkinan besar pembumian hukum Islam khususnya pidana akan dimulai tidak dari lingkungan nasional, tetapi dari daerah-daerah. Hal tersebut akan menjadi harapan untuk aspirasi yang akan menambah menjadi aspirasi di tingkat nasional.

D.         Realisasi Hukum atau Syari’at Islam di NAD dalam Rangka   Pemberlakuan UU No. 18 Tahun 2001, Peraturan Daerah (Qanun) dan UU No. 22 Tahun 1999.

Dalam jangka waktu beberapa tahun belakangan ini, gema Syari’at Islam di NAD merupakan polemik para elit pemerintah serta para praktisi hukum yang menjadikan masalah ini sulit untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai. Otonomi yang diberikan untuk NAD dalam proses kemandirian selalu mendapat kendala dalam hal intervensi pihak yang tidak ingin melihat syari’at Islam berjalan di bumi serambi mekkah ini secara maksimal. Konflik vertikal dan horizontal merupakan barometer pusat untuk selalu memberikan perhatian khusus pada provinsi tersebut.
Fenomena sosial yang sering terjadi di masyarakat NAD sedikit demi sedikit mulai terungkap, walaupun hukum Islam sendiri tidak semua dapat diterapkan di NAD. Dipihak lain aktualisasi terhadap syari’at Islam dalam hal pelanggaran hukum Islam, seperti hukum cambuk bagi pelanggaran khamar, mesum dan lain sebagainya. Otonomi daerah NAD mempunyai arti khusus dalam rangka membuat dan merancang segala bentuk peraturan yang relevan dengan kondisi NAD sekarang dan yang akan datang. Aktifitas peraturan daerah semakin kuat dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini membuktikan bahwa syari’at Islam memang khusus diterapkan di Aceh. pemerintah daerah merupakan lembaga eksekutif yang mempunyai peran esensial dalam merancang dan menetapkan format peraturan daerah yang solid untuk dipertanggungjawabkan secara hukum nasional.
Mahkamah Syar’iyah sebagai salah satu format lembaga hukum yang aktif dalam menyelesaikan perkara-perkara masyarakat Islam ketika berada di NAD dan menjadi tolok ukur bagi peradilan-peradilan lain yang beroperasi disana. Perwujudan lembaga syari’at terbukti dengan adanya pembentukan wilayah al-hisbal yang dikenal dengan sebutan polisi syari’ah, selanjutnya simbol-simbol Islam melalui tulisan arab sering terlihat disegala institusi dan perkantoran negeri maupun swasta.

E.    Analisis Hukum Tata Negara Indonesia terhadap UU No. 22 tahun 1999 dalam rangka Implementasi Syari’at Islam di NAD.

Ketika kita ingin menganalisa fenomena yang ditimbul di masyarakat NAD secara detail dan Indonesia secara umum. Terebih dahulu mari kita melihat ungkapan Kansil, sebagai berikut :
    

     “Setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai suatu Hukum Nasional yang baik dalam bidang kepidanaan maupun bidang keperdataan, yang mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup bangsanya. Kalau Perancis dapat menunjukkkan Code Civil-nya yang menjadi kebanggaannya. Swis mempunyai Zivil Gezetzbuch-nya yang juga terkenal. RRC dan Pilifina sudah mempunyai Code Civil-nya juga. Maka Indonesia sampai dewasa ini belum juga dapat menunjukkan kepada tamu-tamu asingnya Kitab Undang-Undang Nasional, Baik dalam bidang kepidanaan maupun dalam bidang keperdataan.17
Memang, harus kita akui bahwa Indonesia setelah merdeka lebih dari setengah abad belum mempunyai undang-undang yang menyeluruh yang berisi hukum nasional yang memang produk bangsa kita sendiri. Undang-undang yang ada masih berupa peninggalan Belanda dengan beberapa tambal sulam produk lembaga Legislatif kita secara ad hoc. Yaitu, dengan tetap membiarkan keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata warisan Belanda, telah lahir beberapa undang-undang untuk beberapa kasus atau persoalan tertentu sebagai tambal sulam tanpa merubah secara fundamental bangunan dan isi KUH Pidana dan Perdata warisan Belanda tersebut. Maka muncullah pertanyaan mengapa demikaian? Mengapa belum mampu menghasilkan hukum murni yang berasal dari bumi Indonesia? Atau apakah bangsa kita tidak mampu membuat kodofikasi hukum dan unifikasi hukum?.18
Sistem pemerintahan yang terdapat di NAD, sedikit berbeda jika dibandingkan dengan administrasi tata negara kita. Hal ini disebabkan faktor otonomi khusus yang diterapkan disana seiring berlakunya syari’at Islam. Di Indonesia hierarki tata hukum selalu berpatokan kepada Pancasila, UUD 1945, UU, PP, Perpu, Kepres, Inpres, Kepmen, sedangkan di NAD masih tetap berlaku tata hukum tersebut. Akan tetapi kekuatan yang ada di NAD terbagi dua yakni kekuatan yang bersifat umum dan khusus. Sebab pemerintah daerah memberlakukan UU No. 22 tahun 1999 yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Di sisi lain Qanun merupakan modal pemerintahan daerah untuk memandirikan pemerintahannya dalam merealisasikan kualitas dari pelaksanaan syari’at Islam.
Unsur eksekutif dan legislatif merupakan dua lembaga yang potensial dalam membentuk Hukum Islam, MPU, DPRD, serta MUSPIDA lainnya sangat berperan aktif dalam mengaktualisasi syari’at. Di sisi lain, kita melihat bagaimana pengadilan agama yang berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah, dimana aktivitasnya sangat dirasakan, ketika hukum cambuk dilakukan di depan umum. Hal ini menunjukkan kepada kita gebrakan awal dari hukum Islam di NAD telah sukses, akan tetapi jika kita menelaah lebih jauh lagi, mengenai ketentuan hukum terhadap orang non muslim yang melakukan tindak pidana Islam dikawasan tersebut belum dijumpai ketentuannya secara jelas. Seolah-olah hukum nasional dan hukum yang diterapkan di NAD terjadi ketimpangan di sana-sini. Dari segi tata negara Indonesia, peran DPR/DPRD merupakan faktor yang utama, sedangkan di wilayah NAD eksistensi MPU/MUI NAD menjadi barometer terhadap kebijakan yang diambil.
Selanjutnya penulis melihat, bahwa keberadaan polisi syari’at dalam melaksanakan tugasnya selalu terkait adanya intervensi dari pihak lain yang berkepentingan, begitu juga dengan aparat keamanan kita baik dari POLRI/TNI maupun dari pihak GAM sendiri. Cerminan ini menunjukkan betapa kabur serta rumitnya permasalahan Hukum Tata Negara kita saat ini. Walupun demikian, desentralisasi, otonomi khusus yang diberikan pusat kepada daerah harus kita sikapi bersama menuju Indonesia yang berdaulat dan bermartabat di kalangan sendiri dan luar negeri.
RUUPA yang tak kunjung selesai merupakan upaya Pemerintah Indonesia untuk melihat secara detail apa sebenarnya yang diinginkan masyarakat NAD dalam mengisi makna desentralisasi dan otonomi khusus secara Islami yang telah memberlakukan syari’at Islam tersebut. Pelbagai kepentingan menjadi pertimbangan pemerintah pusat dalam menyeleksi aspirasi yang berkembang di tengah gejolak politik dewasa ini.

F.     Penutup.
NAD sebagai salah satu provinsi yang mempunyai sejarah panjang terhadap pemerintahan pusat dan Jakarta, mulai membuka diri untuk dapat melihat kondisi diri yang selama ini berada dalam rezim-rezim terdahulu. Dengan adanya UU No. 18 Tahun 2001 yang telah disahkan tanggal 9 Agustus 2001 dengan lembaran Negara Tahun 2001 No. 114, maka provinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Dengan UU otonomi tersebut NAD merupakan provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam menetapkan dan menerapkan kebijakan hukum Islam khususnya di wilayahnya tanpa ada aturan yang mengikatnya selain peraturan daerah (Qanun) seperti hukum cambuk bagi pelanggar khamar dan judi, khalwat sebagai hukuman ta’zir, sedangkan pelaksanaan hukum hudud belum diaplikasikan karena belum adanya ketentuan hukum yang jelas seperti halnya zina, aborsi dan sejenisnya. Tata hukum Negara Indoensia seolah-olah sebagai lampu redup, sehingga keberadaannya dipertanyakan baik teori maupun realisasinya. Seolah-olah Hukum Nasional kita menjadi longgar ketika arus otonomi kian semarak di bumi persada ini tanpa menghiraukan konflik yang timbul di berbagai daerah.


[1]Muhammad Hatta, Autonomi dan Centralisasi dalam Partai Daulat Rakyat No. 76 Tanggal 20 Oktober 1933. lihat juga Kumpulan Karangan, Cetakan. II (Jakarta: PT. Bulan Bintang 1976), h. 261-263.
[2]Luthfi Mustofa, Otonomi Daerah : Evaluasi dan Proyeksi (ed) Indra J. Piliang, et-al (Jakarta : Yayasan Harkat Bangsa, 2003), h. III.
[3]Solichin Abdul Wahab, Masa Depan Otonomi Daerah, Kajian Sosial, Ekonomi dan Politik Untuk Menciptakan Sinergi Dalam Pembangunan Daerah. (Surabaya: Sic, 2002), h. 35.
[4]Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999), h. 52.
[5]Philip Mawhood, Local Government in the Third World  (New York: John Wiley & son, 1987), h. 35.
[6]Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia;  Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Cet. I (Malang: Averroes Press, 2005), h. 13-14.
[7]J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Studi Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Cet. I (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 92.
[8]Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Cet.I (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). h. 20.
[9]Ibid, h. 26.
[10]Ibid, h. 86.
[11]Freda Adler, Mudler dan William S Laufer, Criminology (New York: Mc Graw Hill, 1991) h. 170-171.
[12]Sam Souryal, (ed). Uqljesa Zveleic, “Religious Training as a Method of Social Control: the Effective of Syari’a Law in the Development of a Noncriminal Society in the Kingdom of Saudi Arabia” dalam Essayss on Crime and Development, (Roma: UNICRI, 1990), h. 261.
[13]Mukhlas Hasyim, “Aspek Perlindungan HAM dan Hukum Pidana Islam” disampaikan pada diskusi “Menyibak Aspek Perlindungan HAM dan Hukum Pidana Islam, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 15 Mei 2001.
[14]Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakkan Syari’at Islam dalam Wacana dan Agenda, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) h. 107.
[15]Ibid, h. 109.
[16]Ibid, h. 110.
17C.T.S. Kansil dan Christine S. T. Kansil,  Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 200-201.
18A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional ; Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Nasional, Cet. I,  (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 114.

Tidak ada komentar: