Sabtu, 05 November 2011

Filosofi Nilai Qurban

Perjuangan Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail AS dalam melaksanakan perintah Allah SWT meksipun harus menjalani ujian yang sangat berat, selalu dikupas setiap kali Hari Raya Idul Adha tiba. Sayangnya, dari kisah perjalanan dan perjuangan Nabi Ibrahim AS dan keluarganya serta perilaku dan keimanan yang ada pada tiga tokoh utama; Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan Ismail AS jarang digambarkan.
Lama Nabi Ibrahim tak dikarunia anak keturunan. Kegelisahannya ini ia sampaikan melalui untaian doa yang sangat mustajab yang kemudian dipakai oleh pasangan yang sudah menikah tapi belum dikarunia anak: Robbi habli minash-sholihin (Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepada (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh) seperti disebut dalam Alquran surat Ash-Shaffaat (37) ayat 100. Lewat rahim Siti Hajar, doa nabi Ibrahim AS dikabulkan. Di beberapa ayat, Allah menyebut Ismail bukan sembarang anak. Tapi dia adalah nabi dan rasul (QS Maryam: 54), seseorang yang diridhai (QS Maryam: 55), seseorang yang sabar (QS Al Anbiyaa: 85), seseorang yang ditinggikan derajatnya (QS Al An’am: 86), termasuk manusia yang paling baik (QS Shood: 48) dan termasuk yang diamanahi Ka’bah (QS Al-Baqarah: 125). Bahkan sejak sebelum lahirnya, Allah sudah memuji Ismail dengan kalimat bighulaamin haliim, anak yang sabar (QS Ash-shaffaat: 101).
Bisa kita bayangkan, setelah lama penantiannya menunggu lahirnya Ismail ini, dan setelah dibawa hijrah ke Makkah, tiba-tiba Allah SWT memerintahkan Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya. Bayangkan saja, anak kita, jangankan ia berprestasi, sering dimuat di koran, cerdas lagi taat — anak yang biasa-biasa saja pun, tidak akan ada orang tua yang rela mengorbankannya.
Dalam surat As-Shafa¡¯at ayat 102 hingga 111 diceritakan lengkap kisah ini. Ismail sangat ridha disembelih sang ayah jika hal itu merupakan perintah Allah. Di dan ayahnya sama sekali tidak memberitahu sang ibu mengenai hal ini. Ibrahim hanya meminta istrinya memakaikan baju yang bagus untuk anaknya.

Hampir setiap perjalanan kehidupan keluarga Ibrahim menjadi sejarah. Termasuk episode ini. Lahirnya jamaraat (tempat melempar jumrah) adalah salah satu sejarah yang dibadikan oleh Allah menjadi manasikul hajj. Tidak jauh dari tempat melempar jumrah, ada satu tempat,di situlah Nabi Ibrahim melakukan prosesi kurban Ismail. Kalau jamaah haji menuju Mina dari Muzdalifah, di sebelah kiri atas akan terlihat sebuah tugu. Di situ Nabiyullah Ibrahim mengurbankan Ismail. Mereka berdua berjalan dari Makkah menuju tugu itu, melewati jamaraat.
Tertinggallah kita yang bertanya apa gerangan yang sudah kita lakukan untuk Allah? Apa yang sudah kita kurbankan dari diri kita, dari keluarga kita untuk agama Allah? Jangankan jiwa raga, harta pun kita pelit membagi untuk Allah. Dan, malah kalau mau lebih tajam lagi bertanya pada diri kita, jangankan jiwa raga dan harta, waktu untuk beribadah kepada llah SWT pun seperti sayang kita lakukan. Sepertinya lebih berharga mencari dunia, dari pada bersusah payah shalat berjamaah, shalat sunah qabliyah dan ba’diyah, sedekah atau berdakwah. Kecintaan kita kepada Allah SWT layak kita pertanyakan.
Tapi jarang yang memetik filosofi sampai ke sana, ya?
Itu sudah hilang di kita. Sekarang yang ditekankan kepada nilai kurbannya bukan pada nilai-nilai kekeluargaannya. Yang ada, adalah kurban tanpa makna. Dan ustadz-ustadz hanya mendorong melakukan kurban yang terbaik nanti akan mendapat pahala. Tapi, filosofinya nggak dapat. Perjuangan Siti Hajar, filosofinya dalam sekali. Kemudian mereka beribadah dalam suka cita, mereka beribadah dalam suasana hati yang senang sehingga mereka maqoma Ibrohima mushalla Dia bangun Maqom Ibrahim dengan Ismail.
Jadi, Idul Adha juga bermakna perbaikan hubungan keluarga?
Ketangguhan keluarga memang harus dibangun. Memberi makna bagaimana seorang ayah lebih mencintai anaknya. Dan sebaliknya, seorang anak lebih mencintai orang tuanya.
Berarti kurban bukan sekadar dalam arti fisik seperti pemotongan hewan?
Prinsip motong hewan itu puncak. Itu harus dilihat peristiwa sebelumnya di Palestina, bagaimana Nabi Ibrahim mengalami kebuntuan dalam berdakwah di sana. Lalu Allah menyuruh hijrah ke negeri Makkah. Sampai di sana ternyata menemui tantangan yang lebih berat lagi.
Momen berkurban itu sesungguhnya bukan hanya bagaimana kita berwelas asih kepada yang tidak punya makanan. Intinya malah kalau saya lihat dari sejarah tafsir malah tidak ada tujuan Allah untuk berkurban sekadar menyembil hewan saja, misalnya perintah Allah pada Nabi Ibrahim untuk potong kambing, ternyata tidak begitu.Tapi, Nabi Ibrahim disuruh sama Allah melewati proses ujian sehingga kemudian lahir filosofi itu ke arah Tuhan.


Tidak ada komentar: