Rabu, 19 November 2008

KEPEMIMPINAN DALAM SHALAT

HUBUNGAN SHALAT JAMA’AH DENGAN KEPEMIMPINAN
Kriteria Imam Shalat Jama’ah
Shalat jama’ah merupakan shalat yang dilakukan secara bersama-sama oleh ummat islam yang terdiri dari seorang imam dan ma’mum. Imam menjadi pemimpin shalat dan diikuti oleh ma’mum yang berdiri tepat di belakang imam. Ritual ini dilakukan untuk mendapatkan nilai lebih dalam ber’ubudiyah kepada Allah SWT. Untuk menjadi seorang imam dalam shalat jama’ah bukanlah dapat dilakukan oleh semua orang, seorang imam punya kriteria tersendiri sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqah.
Adapun kriteria/ persyaratannya untuk menjadi seorang imam shalat, antara lain harus megetahui dan menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan shalat jama’ah, terlebih lagi hal-hal yang dapat membatalkan shalat yang benar-benar harus dipahami oleh seorang imam shalat. Karena ini merupakan sebagai tolak ukur akan sah tidaknya shalat yang dilaksanakan.
Apabila semua orang memenuhi kriteria di atas, maka mereka layak dijadikan sebagai imam dalam shalat jama’ah. Walaupun demikian, pada saat pelaksanaan shalat jama’ah, yang menjadi imam hanyalah satu orang yang terbaik dan terpilih dari kumpulan mereka. Disini ada pertimbangan-pertimbangan lainnya terlepas dari persyaratan yang telah ditetapkan, sehingga dipilih salah satu dari mereka untuk menjadi imam dalam shalat jama’ah. Sedangkan yang lainnya menjadi ma’mum (pengikut) sampai dengan selesai pelaksanaan shalat.
Seorang ma’mum juga bisa dijadikan sebagai naib imam (pengganti imam) untuk memimpin shalat ketika imam mengalami keodzoran, sedangkan shalat sedang dilaksanakan. Dengan demikian, pelaksanaan shalat tetap dilanjutkan sampai dengan selesai, walaupun imam yang pertama mengalami keodzoran. Naib imam harus berdiri tepat dibelakang imam agar lebih mudah untuk maju menggatikan imam, dan memposisikan dirinya sebagai imam untuk memimpin pelaksanaan shalat jama’ah sampai dengan sempurna jumlah raka’atnya.
Sebagaimana ketentuan yang berlaku pada imam, juga berlaku pada naib imam. Segala sesuatu yang berhubungan dengan shalat jama’ah juga harus dipahami oleh ma’mum yang menjadi naib imam, agar ma’mum tersebut layak dijadikan sebagai naib imam. Ketentuan ini sebagaimana yang telah disepakati oleh kebanyakan ulama fiqah dalam dalam berbagai literatur peninggalan mereka.

Kriteria Pemimpin Dalam Islam
Sebagai makhluk sosial, manusia perlu berinteraksi dan membutuhkan peranan orang lain dalam kehidupan sehingga mereka hidup dalam komunitas manusia lainnya. Komunitas tersebut terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dan status sosial yang berbeda. Karakteristik yang berbeda memberikan warna tersendiri dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tidak jarang terjadi konflik kecil dalam interaksi yang mereka bangun sendiri. Unik, tapi itulah kenyataannya yang terjadi, karena setiap manusia mempunyai rasa egoistis yang kadang kala tidak terkendali oleh akal sehat.
Oleh karena demikian, dibutuhkan seorang pemimpin yang sanggup meredam perselisihan dan menyelesaikan segala bentuk permasalahan yang muncul kepermukaan. Abu Hasan Al-Mawardi memberikan pengertian Imamah (pemimpim) merupakan suatu kedudukan/jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.[1] Pemimpin tersebut juga berfungsi sebagai pelindung serta pengayom bagi masyarakat (rakyat) dalam wilayah pimpinannya. Seorang pemimpin harus benar-benar orang yang bijak dan arif, sehingga tidak salah dalam mengambil kebijaksanaan dan membuat keputusan. Kriteria pemimpin yang baik menurut pandangan agama islam adalah:[2]
1. Adil
2. Laki-laki
3. Merdeka
4. Baligh
5. Berakal Sehat
6. Bisa menjadi hakim
7. Punya keahlian tentang militer, persenjataan dan urusan perang
8. Tidak cacat fisik

Realitas sistem Kepemimpinan Sekarang
Dalam beberapa dekade akhir-akhir ini kita saksikan, sistem kepemimpinan yang dipraktekkan di Indonesia dan khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), baik mulai tingkat provinsi dibawah arahan seorang gubernur sampai dengan tingkat kecamatan yang di komandoi oleh seorang camat, tidak ada signifikan (kesinambungan) program antara pemimpin yang lama dengan pemimpin yang baru. Realitasnya adalah setiap terjadi pergantian pimpinan melalui pemilihan umum (pemilu), maka program pembngunan daerah dari segala aspek juga ikut berubah. Ironisnya ada program-program lama di bawah pimpinan lama yang belum terealisasikan, dibiarkan tebengkalai begitu saja dan tidak ada upaya untuk ditindak lanjuti oleh pemimpin baru. Sehingga banyak kita lihat program pembamgunan dikerjakan setengah-setengah tanpa mencapai target yang telah direncanakan bersama.
Realitas seperti ini telah menjadikan rakyat menanggung akibat dari ketidaksinambungan sistem kepemimpinan yang dipraktekkan selama ini. Munculnya pemimpin baru dengan program-program barunya pula meruntuhkan semua kebijakan lama yang kadang-kadang merupakan program prioritas untuk memakmurkan kehidupan rakyat kecil. Padahal semua program pembangunan yang dilaksanakan menggunakan dan APBD/APBK yang merupakan dana dari rakyat dan untuk rakyat. Reformasi semacam ini perlu ditinjau kembali oleh semua pihak demi kemashlahatan dan kemakmuran kehidupan rakyak kecil di masa mendatang. Kalau program lama itu baik dan mengutamakan kepentingan rakyat, seharusnya ditindak lanjuti lagi oleh pemimpin baru dan merevisi dimana ada kekurangannya.

Hubungan Shalat Jama’ah dengan Kepemimpinan
Berdasarkan penjelasan di atas, untuk menjadi imam shalat jama’ah dan menjadi seorang pemimpin bagi rakyat, setiap orang harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan oleh para ulama. Imam shalat jama’ah bertanggung jawab atas kesempurnaan shalat ma’mumnya yang menjadi pengikutnya dalam shalat. Sedangkan seorang pemimpin bertanggungjawab terhadap kepercayaan yang diamanahkan oleh rakyat untuk mengatur segala urusan agama dan negara. Apabila dua elemen tersebut melakukan suatu kesalahan baik disengaja atau tidak, maka ma’mum dan rakyat ikut menanggung akibatnya. Jadi antara imam shalat dan seorang pemimpin rakyat sama-sama mempunyai tanggung jawab untuk kemashlahatan pengikutnya dan memberikan hasil yang terbaik kepada mereka, sehingga tujuan bersama dapat tercapai dengan baik.

1. Hikmah Shalat Jama’ah Terhadap Kepemimpinan
Sebagaimana yang telah penulis ungkapkan diatas bahwa shalat jama’ah bukanlah sekedar ritualitas relegius bagi ummat islam. Karena dibalik ritual tersebut mengandung hikmah yang sangat banyak bagi ummat dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, antara lain adalah bagi sistem kepemimpinan dalam islam. Bagaimana ketentuan yang berlaku dalam aturan shalat jama’ah ketika imam mengalami keodzoran dalam shalat, seharusnya menjadi acuan bagi seorang pamimpin dalam mengambil setiap kebijaksanaan dan keputusan.
Realitas sistem kepemimpinan selama ini yang tidak ada signifikansi program antara pemimpin lama dengan pemimpin baru, harus dikaji kembali dengan bercermin dan balajar dari aturan shalat jama’ah ketika imam odzor dalam shalat. Program pembangunan yang tidak sempurna dikerjakan oleh pemimpin lama karena telah habis masa jabatannya, dilanjutkan kembali pelaksanaannya oleh pemimpin baru, sehingga dana yang sudah dikucurkan untuk program tersebut tidak sia-sia. Disisi lain, uang rakyat yang terkumpul dalam APBD/APBK tidak disalahgunakan akibat dari kekeliruan dalam mengambil sebuah kebijaksanaan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk membuka paradigma berpikir kita kearah yang lebih baik dan mengutamakan kemashlahatan ummat. Sudah saatnya kita kembali kepada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam syari’at islam untuk memperbaiki kekhilafan kita selama ini yang telah banyak keluar dari hakikat islam. Mari kita pergunakan akal sehat dan berpikir secara profesional dalam menggali hikmah yang tersirat dalam setiap perintah agama. Nilai ibadah bukan hanya sebatas ‘ubudiyah seorang hamba kepada Allah SWT, lebih dari itu banyak nilai-nilai kehidupan yang kita dapatkan apabila kita mau berpikir dan bercermin darinya. Nilai-nilai tersebut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan keharmonisan hidup di dunia ini.

Kesimpulan
Shalat jama’ah bukan sebatas ritulitas relegius bagi ummat islam, tapi dibalik aturan dan tata cara pelaksanaannya mengandung banyak hikmah yang dapat menjadi pelajaran bagi kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan shalat jama’ah, antara lain adalah pelajaran yang sangat berharga untuk diterapkan dalam sistem kepemimpinan pemerintahan negara.
Imam shalat dan jabatan pimpinan tidak dapat diberikan kepada setiap orang, yang layak mendapatkan jabatan tersebut adalah orang-orang yang memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan.


[1]. Prof. H. A. Djazuli, MA, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syari’ah, Prenada Media, Jakarta, Edisi revisi, Hal 87
[2]. Muhammad Ridwan Yahaya, Memilih Pemimpin Dalam Perspektif Islam, Pustaka Nawaitu, Jakarta, Cet I, Hal 55.

1 komentar:

MUDIMail.co.cc mengatakan...

assalamu 'alaikum tgk.